[caption id="attachment_787" align="aligncenter" width="640"] Saat warga Sepawon mendengarkan penjelasan Ketu...
[caption id="attachment_787" align="aligncenter" width="640"] Saat warga Sepawon mendengarkan penjelasan Ketua Bidang Hukum JPKP Kabupaten Kediri, Nanik Haryanti bahwa surat permohonan penyelesaian kasus kedua dusun itu telah diterima Kementerian Sekretariat Negara, Sabtu, 30 Desember 2017.[/caption]
Foto Kediri - Di penghujung tahun 2016 ini perjuangan warga Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kediri mendapatkan titik terang. Harapan untuk memperoleh sertifikat tanah yang menjadi tempat tinggal mereka direspon pemerintah pusat.
Namun persoalan belum dianggap selesai, sebab bagi ratusan warga Sepawon dari Dusun Badek dan Gatok, sebelum sertifikat tanah itu berada di genggaman, hak mereka yang sebelumnya dijanjikan pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri dianggap belum dipenuhi.
Luapan kegembiraan ratusan Sepawon dari Dusun kegembiraan itu lantaran surat permohonan penyelesaian kasus kedua dusun itu telah diterima Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) saat ormas Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Kediri Raya yang sekarang mendampingi perjuangan mereka, menunjukkan bukti diterimanya surat itu.
“Tujuh puluh tahun Indonesia telah merdeka namun anehnya kita yang berkumpul di sini (warga dusun Badek dan Gatok) belum merasakan kemerdekaan,” kata Puguh, Kepala Desa Sepawon, Sabtu, 30 Desember 2017. (Baca: Trend Berbelanja Online Perempuan Desa Lereng Kelud)
Warga dua dusun itu menempati lahan yang masih dalam sengketa antara warga di dua dusun itu dengan pihak PTPN XII. Munculnya sengketa terkait dengan sejarah nasionalisasi lahan perkebunan di lereng Gunung Kelud Kediri dari korporasi milik Belanda ke Republik Indonesia.
Sebelum nasionalisasi tahun 1957, mereka adalah warga Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Tanah di daerah Jarak, sebelumnya merupakan hutan belantara. Hutan ini kemudian dibuka oleh Mbah Diposulaksono, kemudian disusul oleh penghuni baru yang lainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa para pembuka hutan ini juga adalah para leluhur masyarakat Desa Sepawon sekarang. Masyarakat pembuka hutan ini kemudian mendiami dan beranak pinak serta memperoleh penghidupan dari tanah dan sumber-sumber penghidupan yang lain ditempat ini.
Pada tahun 1923 Pemerintah Belanda membuka area perkebunan di sekitar perkampungan warga. Belanda mengambil sebagian tanah garapan dengan cara memberikan ganti rugi sepantasnya pada warga. Namun, oleh Belanda kemudian dikuasakan pada Perusahaan Perkebunan N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Sumber Glatik Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Badek Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Babadan Gevastigde to Surabaya sebagai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.
Meski demikian, ada batas yang jelas terhadap antara tanah-tanah yang dikuasai oleh Belanda dengan tanah-tanah yang dikuasi oleh warga. Atau ada batasan jelas antara tanah yang dimiliki warga setempat, yakni tanah pertanian yang diperoleh dari hasil membuka semak belukar menjadi ladang garapan dengan tanah-tanah perkebunan yang dikuasai Belanda sebagai area perkebunan. (Baca: Uniknya Kampung Indian di Lereng Kelud Kediri)
Batas-batas itu dibuat atas kesepakatan antara warga dengan pihak Belanda. Hal ini mengacu pada UU Agraria Belanda. Dalam Undang-Undang Agraria tersebut, yang dibuat Belanda pada 1870 tercantum aturan bahwa Gubernur Jendral Belanda tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri.
Periode pendudukan Jepang 1942 Belanda kalah tanah perkebunan yang dikuasai Belanda banyak yang terlantar. Sehingga tanah perkebunan tersebut kembali menjadi semak belukar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dikelola oleh Jepang.
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 setelah penjajahan Jepang berakhir juga merupakan kemerdekaan bagi warga Ngrangkah untuk kembali lagi bertani. Sebanyak 500 KK mulai kembali mengelola lahann garapannya.
Pada tahun 1946 atas perintah Bupati Kediri Jumari dengan melalui pamong praja setempat (diantaranya Marto dan Kasmi) warga mulai melakukan pembabatan kembali tanah pertanian warga yang tak terawatt.
Tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan terlantar tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum. Karena memang sebelumnya yang dikelola adalah tanah yang pada masa penjajahan Belanda sudah menjadi milik warga yang tinggal di daerah itu.
Agresi Militer berakhir, Pemerintahan Soekarno segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda yang ada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86 / 1958, LN 1958,No 162) dan diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959 yang meliputi tanah bekas perkebunan atau perusahaan barat dikuasai Negara. Terrmasuk di dalamnya tanah perkebunan N.V. Cultuur Mij Badek, N.V. Ngrangkah Sumber Glatik, N.V. Babadan .
Sejak tanggal 3 Desember 1957 tanah perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan perusahaan perkebunan Belanda diubah menjadi PPN Antan yang merupakan perusahaan perkebunan milik Negara RI. Sebenarnya pada saat nasionalisasi ini juga sudah ada kejelasan, mana tanah milik Perusahaan Belanda dan mana tanah milik warga. Apalagi, pada saat tanah yang terkena nasionalisasi dan kembali ke Negara diluar batas-batas tanah-tanah rakyat dan tetap ada pembatasan yang jelas antara tanah yang terkena nasionalisasi dengan tanah yang dimiliki warga.
Pada tahun 1966 terjadi koflik, dimana tanah yang dikuasai warga berusaha diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih tanah mereka adalah tanah hasil Nasionalisasi. Kemudian terjadilah tindakan yang bersifat manipulatif melalui tekanan, paksaan dan teror.
Bentuk-bentuk penekanan diantaranya, apabila warga tidak menyerahkan tanah yang dimilikinya, tanpa berdasarkan fakta dan bukti yang jelas maka mereka dicap sebagai PKI. Sementara bentuk manupulatifnya, tanah garapan warga digusur dan digabungkan menjadi satu.
Saat itu Kampung Pojok dan Kampung Karangsari digabung menjadi Dusun Badek. Kampung Pakelan dan Kampung Sumberjo digabung menjadi Sepawon Ngrangkah. Warga diberikan tempat penampungan masing-masing 20x23 meter. Lahan penampungan itu kemudian dijadikan pemukiman oleh warga. Pada saat itu terjadi peralihan tanah garapan dikelola oleh PPN Antan XII.
Perkembangan selanjutnya, karena wilayah Dusun Jarak dengan Sepawon jaraknya sekitar 25 km maka Desa jarak dipecah menjadi dua, Desa Jarak dan Desa Sepawon. Di Desa Sepawon sendiri, Dusun Petungombo merupakan wilayah yang di luar perkebunan, sementara Dusun Badek dan Gatok berada di area perkebunan PPN Antan XII.
Mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga. Terjadi proses peralihan pengelolaan kebun dari pihak PPN Antan XII ke pihak PTPN XII. Hal itupun juga direkayasa dan tidak diketahui warga. Bahkan, mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga Ngrangkah Pawon atau tanah warga diklaim berstatus tanah Negara bekas hak erfpacht dengan atas nama : N.V. Cultuur Mij Nrangkah Sumber Glatik, N.V. Cultuur Badek dan N.V. Cultuur Mij Babadan, terkena Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 tahun 1958 junto Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959. Di dalam keterangannya perkebunan menuliskan bahwa sejak tanggal 3 Desember 1959 tanah hak milik yang pernah dikelola warga (klaim tanah milik perkebunan) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Berbagai upaya warga memperjuangkan hak mereka selalu gagal, bahkan intimidasi masih terus dilakukan. Hearing dengan DPRD Kabupaten Kediri juga tak mendapatkan tanda-tanda menggemberirakan. (Baca: Desa Sentra Produksi Cabe Ini Latih Ibu-Ibu Rangkai Bunga Akrilik)
Pasca reformasi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat itu Almarhum Munir turun langsung melakukan advokasi hingga mendampingi warga ke Jakarta meminta Pemerintah Pusat untuk mendapatkan kembali hak mereka, setidaknya tanah seluas 20x25 yang telah dijadikan pemukiman itu, lagi-lagi upaya itu mentok.
Sebenarnya pada tahun 1987 telah diterbitkan sertifikasi tanah seluas 62 hektar yang bukan hak guna usaha (HGU). Lantaran hal itu dianggap angin segar dari pemerintah, pada tahun 2014 beberapa warga membentuk serikat tani Tunggul Wulung yang digunakan untuk memperjuangkan hak mereka.
Dengan adanya serikat tani mereka mulai bergerak mengumpulkan semua dokumen dan alat bukti. Pada tahun 2015 muncul program Inventarisasi Penguasaan Penggunaan dan Pemanfaatan tanah Kawasan Hutan (IP4T) untuk wilayah perkebunan. Sayangnya upaya ini pun belum menemukan titik terang. Dengan dasar IP4T mereka memperjuangkan hak atas tanah mereka sampai audiensi dengan Komisi II DPR RI
Pada tahun 2016 ada seruan dari BPN kepada warga untuk mendaftarkan sertifikasi tanah 20x25. Saat itu dijanjikan sertifikat mereka segera terbit. Pada saat pengukuran ada laporan dari PTPN XII tanah yang ditempati penduduk merupakan asset perusahaan. Kondisi itu menyebabkan pelaksanaan sertifikasi tertunda dan banyak pejabat BPN dimutasi.
Hingga pada bulan September 2017 warga didampingi pengurus JPKP Kabupaten Kediri menemui Ketua Umum JPKP Pusat untuk meminta bantuan menyelesaikan sengketa lahan antara warga Sepawon dengan PTPN XII. Upaya yang dilakukan JPKP bersama warga melakukan lobi-lobi ke pamerintah pusat. Sampailah ada titik terang di mana surat permohonan mereka telah masuk di Setneg.
Menurut Ketua Bidang Hukum JPKP Kabupaten Kediri, Nanik Hariyanti, selama ini warga tidak pernah melakukan tindakan anarkis dan tetap konsisten berjuang di jalur koridor hukum yang berlaku. Sayangnya warga masih kerap menerima intimidasi. Kadang mereka masih dipanggil untuk datang ke Polsek Plosoklaten.
"Warga Sepawon sebenarnya telah lama berjuang mendapatkan hak tanah mereka, namun upaya itu kerap kali gagal," ungapnya.
Foto Kediri - Di penghujung tahun 2016 ini perjuangan warga Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kediri mendapatkan titik terang. Harapan untuk memperoleh sertifikat tanah yang menjadi tempat tinggal mereka direspon pemerintah pusat.
Namun persoalan belum dianggap selesai, sebab bagi ratusan warga Sepawon dari Dusun Badek dan Gatok, sebelum sertifikat tanah itu berada di genggaman, hak mereka yang sebelumnya dijanjikan pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri dianggap belum dipenuhi.
Luapan kegembiraan ratusan Sepawon dari Dusun kegembiraan itu lantaran surat permohonan penyelesaian kasus kedua dusun itu telah diterima Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) saat ormas Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Kediri Raya yang sekarang mendampingi perjuangan mereka, menunjukkan bukti diterimanya surat itu.
“Tujuh puluh tahun Indonesia telah merdeka namun anehnya kita yang berkumpul di sini (warga dusun Badek dan Gatok) belum merasakan kemerdekaan,” kata Puguh, Kepala Desa Sepawon, Sabtu, 30 Desember 2017. (Baca: Trend Berbelanja Online Perempuan Desa Lereng Kelud)
Warga dua dusun itu menempati lahan yang masih dalam sengketa antara warga di dua dusun itu dengan pihak PTPN XII. Munculnya sengketa terkait dengan sejarah nasionalisasi lahan perkebunan di lereng Gunung Kelud Kediri dari korporasi milik Belanda ke Republik Indonesia.
Sebelum nasionalisasi tahun 1957, mereka adalah warga Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Tanah di daerah Jarak, sebelumnya merupakan hutan belantara. Hutan ini kemudian dibuka oleh Mbah Diposulaksono, kemudian disusul oleh penghuni baru yang lainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa para pembuka hutan ini juga adalah para leluhur masyarakat Desa Sepawon sekarang. Masyarakat pembuka hutan ini kemudian mendiami dan beranak pinak serta memperoleh penghidupan dari tanah dan sumber-sumber penghidupan yang lain ditempat ini.
Pada tahun 1923 Pemerintah Belanda membuka area perkebunan di sekitar perkampungan warga. Belanda mengambil sebagian tanah garapan dengan cara memberikan ganti rugi sepantasnya pada warga. Namun, oleh Belanda kemudian dikuasakan pada Perusahaan Perkebunan N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Sumber Glatik Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Ngrangkah Badek Gevastigde to Surabaya, N.V. Cultuur Matschappy Babadan Gevastigde to Surabaya sebagai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.
Meski demikian, ada batas yang jelas terhadap antara tanah-tanah yang dikuasai oleh Belanda dengan tanah-tanah yang dikuasi oleh warga. Atau ada batasan jelas antara tanah yang dimiliki warga setempat, yakni tanah pertanian yang diperoleh dari hasil membuka semak belukar menjadi ladang garapan dengan tanah-tanah perkebunan yang dikuasai Belanda sebagai area perkebunan. (Baca: Uniknya Kampung Indian di Lereng Kelud Kediri)
Batas-batas itu dibuat atas kesepakatan antara warga dengan pihak Belanda. Hal ini mengacu pada UU Agraria Belanda. Dalam Undang-Undang Agraria tersebut, yang dibuat Belanda pada 1870 tercantum aturan bahwa Gubernur Jendral Belanda tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri.
Periode pendudukan Jepang 1942 Belanda kalah tanah perkebunan yang dikuasai Belanda banyak yang terlantar. Sehingga tanah perkebunan tersebut kembali menjadi semak belukar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dikelola oleh Jepang.
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 setelah penjajahan Jepang berakhir juga merupakan kemerdekaan bagi warga Ngrangkah untuk kembali lagi bertani. Sebanyak 500 KK mulai kembali mengelola lahann garapannya.
Pada tahun 1946 atas perintah Bupati Kediri Jumari dengan melalui pamong praja setempat (diantaranya Marto dan Kasmi) warga mulai melakukan pembabatan kembali tanah pertanian warga yang tak terawatt.
Tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan terlantar tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum. Karena memang sebelumnya yang dikelola adalah tanah yang pada masa penjajahan Belanda sudah menjadi milik warga yang tinggal di daerah itu.
Agresi Militer berakhir, Pemerintahan Soekarno segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda yang ada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86 / 1958, LN 1958,No 162) dan diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959 yang meliputi tanah bekas perkebunan atau perusahaan barat dikuasai Negara. Terrmasuk di dalamnya tanah perkebunan N.V. Cultuur Mij Badek, N.V. Ngrangkah Sumber Glatik, N.V. Babadan .
Sejak tanggal 3 Desember 1957 tanah perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan perusahaan perkebunan Belanda diubah menjadi PPN Antan yang merupakan perusahaan perkebunan milik Negara RI. Sebenarnya pada saat nasionalisasi ini juga sudah ada kejelasan, mana tanah milik Perusahaan Belanda dan mana tanah milik warga. Apalagi, pada saat tanah yang terkena nasionalisasi dan kembali ke Negara diluar batas-batas tanah-tanah rakyat dan tetap ada pembatasan yang jelas antara tanah yang terkena nasionalisasi dengan tanah yang dimiliki warga.
Pada tahun 1966 terjadi koflik, dimana tanah yang dikuasai warga berusaha diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih tanah mereka adalah tanah hasil Nasionalisasi. Kemudian terjadilah tindakan yang bersifat manipulatif melalui tekanan, paksaan dan teror.
Bentuk-bentuk penekanan diantaranya, apabila warga tidak menyerahkan tanah yang dimilikinya, tanpa berdasarkan fakta dan bukti yang jelas maka mereka dicap sebagai PKI. Sementara bentuk manupulatifnya, tanah garapan warga digusur dan digabungkan menjadi satu.
Saat itu Kampung Pojok dan Kampung Karangsari digabung menjadi Dusun Badek. Kampung Pakelan dan Kampung Sumberjo digabung menjadi Sepawon Ngrangkah. Warga diberikan tempat penampungan masing-masing 20x23 meter. Lahan penampungan itu kemudian dijadikan pemukiman oleh warga. Pada saat itu terjadi peralihan tanah garapan dikelola oleh PPN Antan XII.
Perkembangan selanjutnya, karena wilayah Dusun Jarak dengan Sepawon jaraknya sekitar 25 km maka Desa jarak dipecah menjadi dua, Desa Jarak dan Desa Sepawon. Di Desa Sepawon sendiri, Dusun Petungombo merupakan wilayah yang di luar perkebunan, sementara Dusun Badek dan Gatok berada di area perkebunan PPN Antan XII.
Mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga. Terjadi proses peralihan pengelolaan kebun dari pihak PPN Antan XII ke pihak PTPN XII. Hal itupun juga direkayasa dan tidak diketahui warga. Bahkan, mulai tahun 1986 sampai sekarang terjadi kesalahan fatal dalam pengajuan HGU. HGU untuk PTPN XII dikeluarkan melalui SK Mendagri No. SK. / HGU / DA / 87 yang ditanda tangani oleh Dirjen Agraria.
Untuk memperoleh izin HGU pihak perkebunan melakukan rekayasa data yaitu dengan memasukan luas tanah yang dimiliki dan dikelola warga Ngrangkah Pawon atau tanah warga diklaim berstatus tanah Negara bekas hak erfpacht dengan atas nama : N.V. Cultuur Mij Nrangkah Sumber Glatik, N.V. Cultuur Badek dan N.V. Cultuur Mij Babadan, terkena Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 tahun 1958 junto Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1959. Di dalam keterangannya perkebunan menuliskan bahwa sejak tanggal 3 Desember 1959 tanah hak milik yang pernah dikelola warga (klaim tanah milik perkebunan) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Berbagai upaya warga memperjuangkan hak mereka selalu gagal, bahkan intimidasi masih terus dilakukan. Hearing dengan DPRD Kabupaten Kediri juga tak mendapatkan tanda-tanda menggemberirakan. (Baca: Desa Sentra Produksi Cabe Ini Latih Ibu-Ibu Rangkai Bunga Akrilik)
Pasca reformasi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat itu Almarhum Munir turun langsung melakukan advokasi hingga mendampingi warga ke Jakarta meminta Pemerintah Pusat untuk mendapatkan kembali hak mereka, setidaknya tanah seluas 20x25 yang telah dijadikan pemukiman itu, lagi-lagi upaya itu mentok.
Sebenarnya pada tahun 1987 telah diterbitkan sertifikasi tanah seluas 62 hektar yang bukan hak guna usaha (HGU). Lantaran hal itu dianggap angin segar dari pemerintah, pada tahun 2014 beberapa warga membentuk serikat tani Tunggul Wulung yang digunakan untuk memperjuangkan hak mereka.
Dengan adanya serikat tani mereka mulai bergerak mengumpulkan semua dokumen dan alat bukti. Pada tahun 2015 muncul program Inventarisasi Penguasaan Penggunaan dan Pemanfaatan tanah Kawasan Hutan (IP4T) untuk wilayah perkebunan. Sayangnya upaya ini pun belum menemukan titik terang. Dengan dasar IP4T mereka memperjuangkan hak atas tanah mereka sampai audiensi dengan Komisi II DPR RI
Pada tahun 2016 ada seruan dari BPN kepada warga untuk mendaftarkan sertifikasi tanah 20x25. Saat itu dijanjikan sertifikat mereka segera terbit. Pada saat pengukuran ada laporan dari PTPN XII tanah yang ditempati penduduk merupakan asset perusahaan. Kondisi itu menyebabkan pelaksanaan sertifikasi tertunda dan banyak pejabat BPN dimutasi.
Hingga pada bulan September 2017 warga didampingi pengurus JPKP Kabupaten Kediri menemui Ketua Umum JPKP Pusat untuk meminta bantuan menyelesaikan sengketa lahan antara warga Sepawon dengan PTPN XII. Upaya yang dilakukan JPKP bersama warga melakukan lobi-lobi ke pamerintah pusat. Sampailah ada titik terang di mana surat permohonan mereka telah masuk di Setneg.
Menurut Ketua Bidang Hukum JPKP Kabupaten Kediri, Nanik Hariyanti, selama ini warga tidak pernah melakukan tindakan anarkis dan tetap konsisten berjuang di jalur koridor hukum yang berlaku. Sayangnya warga masih kerap menerima intimidasi. Kadang mereka masih dipanggil untuk datang ke Polsek Plosoklaten.
"Warga Sepawon sebenarnya telah lama berjuang mendapatkan hak tanah mereka, namun upaya itu kerap kali gagal," ungapnya.