[caption id="attachment_309" align="aligncenter" width="640"] Jerusalem Palestina[/caption] Foto Kediri - Ke...
[caption id="attachment_309" align="aligncenter" width="640"]
Jerusalem Palestina[/caption]
Foto Kediri - Ketika eksistensi Israel sebagai negara yang didirikan di atas tanah bangsa Palestina masih dipersoalkan bangsa Indonesia, Presiden Amerika Serikat, Donal Trump mengeluarkan keputusan yang membuat banyak orang di tanah air merah kupingnya.
Dia mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat untuk Israel ke Jerrusalem. Tak hanya itu, Donald Trump pun mengklaim jika kota suci tiga agama tersebut sebagai ibu kota Israel.
Ketiga dada anak bangsa ini tengah bergemuruh menolak keputusan tidak logis sekaligus konyol, sekelompok orang pengusung Khilafah dan pegiat Galang Dana Palestina yang doyan mencomot ‘Palestina’ tidak mereaksi apapun atas kecaman keras Presiden RI Joko Widodo atas keputusan Trump. Sikap mereka itu menimbulkan tanda tanya: Ada apakah gerangan?
Pernyataan Jokowi bisa dianggap sebagai sikap resmi pemerintah RI, namun tak bisa dipungkiri pula pernyataan itu merupakan sikap negara. Konstitusi RI mengamanatkan bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Bagi warga Kediri, penolakan RI atas eksistensi Israel sebagai perwujudan sikap bangsa Indonesia. Sebab apa yang dilakukan Israel dengan mendirikan atas dasar ras tertentu di atas tanah bangsa yang berdaulat merupakan tindakan ilegal.
Ketua Serikat Petani Kediri (Sepk, Angga Sudarman menyebut pernyataan Presiden, dianggapnya karena Jokowi paham sejarah bangsanya. Bung Karno dulu menentang penjajahan Israel terhadap palestina.
“Reaksi Jokowi sangat beralasan sejarah, minimal sejarah negerinya” ujar Angga, Selasa, 12 Desember 2017.
Angga juga menilai alasan lain Jokowi karena amanat konstitusi RI yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selama Palestina belum lepas dari cengekeraman penjajahan Israel, Indonesia tidak akan pernah mengakui Israel sebagai negara, apalagi mengakui Ibukota Negara di manapun tempatnya.
“Reaksi Jokowi kepada Trump juga karena Indonesia harus ikut serta dalam perdamaian dunia,” katanya.
Oleh sebab itu, diamnya kelompok orang pengusung Khilafah dan kelompok yang gemar menggalang donasi untuk Palestina atas pernyataan Jokowi dinilainya sebagai sikap politis yang patut dicurigai, meski mereka kerap mempropagandakan pembelaan kepada Palestina.
“Sebab Pembelaan terhadap Palestina, seharusnya melalui tangan negara, bukan kelompok. Kelompok bukan hanya mengkampanyekan pembelaan Palestina ke warga, tetapi juga melakukan lobi politik supaya negara bersuara di kancah Internasional,” lanjut Angga.
Jika mereka beralasan bahwa negara yang paling ideal membela Palestina adalah negara yang bersistem Khilafah karena merupakan perwujudan negara Islam, justru malah mengkhawatirkan. Sebab kalau tuntutan mereka adalah berdirinya Khilafah terlebih dahulu, aksi-aksi genosida dan perang akan semakin parah.
“Kenapa? Karena, menurutku, konsep Khilafah Islamiyah berbasis sekte agama, bukan nilai agama,” kilahnya.
Angga malah menyoroti sikap mereka yang harusnya meniru pengorbanan Rachel Corrie. Mereka paling layak berkorban dibanding Corrie jika dilihat gembar-gembor mereka selama ini. Namun apa yang mereka lakukan hanyalah retorika belaka.
Rachel Corrie merupakan pegiat International Solidarity Movement (ISM) atau Gerakan Solidaritas Internasional yang bergerak untuk Palestina berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia bukanlah muslimah. Pada tanggal 16 Maret 2003, Corrie terbunuh ketika ia dan teman-temannya pegiat ISM terlibat konfrontasi dengan dua buldozer Israel. Corrie menghadang laju buldozer Israel yang hendak menghancurkan rumah keluarga seorang apoteker Palestina. Dia ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya hingga mengakibatkan tulang tengkoraknya retak, tulang rusuknya hancur dan menusuk paru-parunya.
“Yang dilakukan Corrie murni karena aksi kemanusiaan. Tidak ada tendensi kepentingan apapun, toh Corrie juga warga negara AS.”
Tidak bisa diharap dari kelompok politis semacam ini. Yang mereka gembar-gemborkan selama ini hanyalah omong kosong belaka. Angga malah berharap warga Kediri tanpa embel-embel primordialisme apapun turut berperan serta mewujudkan kemerdekaan bangsa Palestina dengan mendukung pemerintah terlibat di kancah Internasional menggalang dukungan menolak keputusan Trump sekaligus menolak eksistensi Israel.
“ Bisa juga mengajukan kertas posisi ke parlemen tentang pernyataan sikap warga Kediri”
Yang menjadi starting point, kata Angga kampanye pembelaan Palestina dilakukan atas nama kemanusiaan. Sebab kampanye aksi kemanusiaan pun juga sebagai wujud internasionalisme
“Kampanye tidak melulu kotak amal dan jargon-jargon Khilafah, cukuplah atas nama kemanusiaan,” tegasnya
Diamnya pengusung Khilafah’dan pegiat Galang Dana Palestina atas dukungan kepada pemerintah RI juga dicurigai oleh Ibnu Syifa, beretndensisi politis. Ketua Bidang Ekonomi Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP Kediri Raya ini menyebut kelompok ini hanya mengusung agendanya sendiri. Isu Palestina hanya digunakan untuk menghimpun dukungan bahkan untuk memobilisasi muslimin.
“Palestina adalah rongga strategis untuk melontarkan semangat utopis Khilafah, ISIS wa ahowatuha,” kata Syifa.
Ketua RT 29, Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto Kot Kediri, Saifuddin Zuhri menyebut mereka hanya mengambil peran lewat medsos biar dikatakan peduli terhadap Palestina. Padahal langkah lain tidak ada yang mereka lakukan.
“Misalnya mereka tidak mendukung pemerintah memainkan diplomasi antar negara maupun kelompok OKI,” kata Saifuddin.
Lantaran tidak ada yang bisa diharap dari kelompok ini, Syifa menyeru masyarakat Kediri memainkan peran dengan mengambil sikap. Bagi mereka yang tergabung di dalam JPKP harus menyatakan sikap, setidaknya lewat siaran pers.
“Bahaya mazhab Trump dan awas penumpang gelap atas nama solidaritas Palestina,”kata Syifa
Saifuddin berharap masyarakat Kediri bisa mendesak ormas NU dan Muhammadiyah memainkan peran strategis mereka sebagai representasi kelompok Islam moderat bersinergi dengan pemerintah RI berdiplomasi dengan negara-negara lain.
“Terakhir yg bisa dikerjakan adalah boikot produk-produk AS dan Zionis Yahudi,” tegas Saifuddin.
Menyikapi keputusan Presiden Donald Trump yang memindahkan Ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, Pendeta Persekutuan Doa Kasih Karunia Kediri, Jeannie Latumahina menganggap hal itu lantaran politik Luar Negeri Amerika Serikat sangat ditentukan oleh posisi Partai Politik (Republik atau Demokrat) dan lobby-lobby politik dengan beragam kepentingan.
“Keputusan politik Donald Trump soal status Yerusalem jelas tak bisa lepas dr situasi perpolitikan Dalam Negeri AS yang dikuasai Partai Republik dengan kebijakan politik domestik yang kuat dan lobby kekuatan ekonomi Yahudi yang cenderung mendikte, maupun dukungan umat Kristen dengan kiblat teologi premilenial dispensationalist (Israel/Yerusalem baru tergenapi sekaangr) yang berhasil mengungguli posisi teologi Kristen Supersessionist (Yerusalem baru tergenapi nanti) yang belakangan agak meredup,” ucapnya
“Donald Trump dengan kepribadian megalomanianya tentu saja melihat situasi perpolitikan nasional Amerika ini sebagaimomentum yang dianggapnya tepat untuk menunjukkan kekuatan visionernya (bak seorang nabi besar), yang ia posisikan berbeda dibanding dengan presiden-presiden sebelumnya terutama dari Partai Demokrat yang selama ini dianggap terlalu lembek dan akomodatif dalam kebijakan politik Luar Negeri AS.”

Foto Kediri - Ketika eksistensi Israel sebagai negara yang didirikan di atas tanah bangsa Palestina masih dipersoalkan bangsa Indonesia, Presiden Amerika Serikat, Donal Trump mengeluarkan keputusan yang membuat banyak orang di tanah air merah kupingnya.
Dia mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat untuk Israel ke Jerrusalem. Tak hanya itu, Donald Trump pun mengklaim jika kota suci tiga agama tersebut sebagai ibu kota Israel.
Ketiga dada anak bangsa ini tengah bergemuruh menolak keputusan tidak logis sekaligus konyol, sekelompok orang pengusung Khilafah dan pegiat Galang Dana Palestina yang doyan mencomot ‘Palestina’ tidak mereaksi apapun atas kecaman keras Presiden RI Joko Widodo atas keputusan Trump. Sikap mereka itu menimbulkan tanda tanya: Ada apakah gerangan?
Pernyataan Jokowi bisa dianggap sebagai sikap resmi pemerintah RI, namun tak bisa dipungkiri pula pernyataan itu merupakan sikap negara. Konstitusi RI mengamanatkan bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Bagi warga Kediri, penolakan RI atas eksistensi Israel sebagai perwujudan sikap bangsa Indonesia. Sebab apa yang dilakukan Israel dengan mendirikan atas dasar ras tertentu di atas tanah bangsa yang berdaulat merupakan tindakan ilegal.
Ketua Serikat Petani Kediri (Sepk, Angga Sudarman menyebut pernyataan Presiden, dianggapnya karena Jokowi paham sejarah bangsanya. Bung Karno dulu menentang penjajahan Israel terhadap palestina.
“Reaksi Jokowi sangat beralasan sejarah, minimal sejarah negerinya” ujar Angga, Selasa, 12 Desember 2017.
Angga juga menilai alasan lain Jokowi karena amanat konstitusi RI yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selama Palestina belum lepas dari cengekeraman penjajahan Israel, Indonesia tidak akan pernah mengakui Israel sebagai negara, apalagi mengakui Ibukota Negara di manapun tempatnya.
“Reaksi Jokowi kepada Trump juga karena Indonesia harus ikut serta dalam perdamaian dunia,” katanya.
Oleh sebab itu, diamnya kelompok orang pengusung Khilafah dan kelompok yang gemar menggalang donasi untuk Palestina atas pernyataan Jokowi dinilainya sebagai sikap politis yang patut dicurigai, meski mereka kerap mempropagandakan pembelaan kepada Palestina.
“Sebab Pembelaan terhadap Palestina, seharusnya melalui tangan negara, bukan kelompok. Kelompok bukan hanya mengkampanyekan pembelaan Palestina ke warga, tetapi juga melakukan lobi politik supaya negara bersuara di kancah Internasional,” lanjut Angga.
Jika mereka beralasan bahwa negara yang paling ideal membela Palestina adalah negara yang bersistem Khilafah karena merupakan perwujudan negara Islam, justru malah mengkhawatirkan. Sebab kalau tuntutan mereka adalah berdirinya Khilafah terlebih dahulu, aksi-aksi genosida dan perang akan semakin parah.
“Kenapa? Karena, menurutku, konsep Khilafah Islamiyah berbasis sekte agama, bukan nilai agama,” kilahnya.
Angga malah menyoroti sikap mereka yang harusnya meniru pengorbanan Rachel Corrie. Mereka paling layak berkorban dibanding Corrie jika dilihat gembar-gembor mereka selama ini. Namun apa yang mereka lakukan hanyalah retorika belaka.
Rachel Corrie merupakan pegiat International Solidarity Movement (ISM) atau Gerakan Solidaritas Internasional yang bergerak untuk Palestina berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia bukanlah muslimah. Pada tanggal 16 Maret 2003, Corrie terbunuh ketika ia dan teman-temannya pegiat ISM terlibat konfrontasi dengan dua buldozer Israel. Corrie menghadang laju buldozer Israel yang hendak menghancurkan rumah keluarga seorang apoteker Palestina. Dia ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya hingga mengakibatkan tulang tengkoraknya retak, tulang rusuknya hancur dan menusuk paru-parunya.
“Yang dilakukan Corrie murni karena aksi kemanusiaan. Tidak ada tendensi kepentingan apapun, toh Corrie juga warga negara AS.”
Tidak bisa diharap dari kelompok politis semacam ini. Yang mereka gembar-gemborkan selama ini hanyalah omong kosong belaka. Angga malah berharap warga Kediri tanpa embel-embel primordialisme apapun turut berperan serta mewujudkan kemerdekaan bangsa Palestina dengan mendukung pemerintah terlibat di kancah Internasional menggalang dukungan menolak keputusan Trump sekaligus menolak eksistensi Israel.
“ Bisa juga mengajukan kertas posisi ke parlemen tentang pernyataan sikap warga Kediri”
Yang menjadi starting point, kata Angga kampanye pembelaan Palestina dilakukan atas nama kemanusiaan. Sebab kampanye aksi kemanusiaan pun juga sebagai wujud internasionalisme
“Kampanye tidak melulu kotak amal dan jargon-jargon Khilafah, cukuplah atas nama kemanusiaan,” tegasnya
Diamnya pengusung Khilafah’dan pegiat Galang Dana Palestina atas dukungan kepada pemerintah RI juga dicurigai oleh Ibnu Syifa, beretndensisi politis. Ketua Bidang Ekonomi Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP Kediri Raya ini menyebut kelompok ini hanya mengusung agendanya sendiri. Isu Palestina hanya digunakan untuk menghimpun dukungan bahkan untuk memobilisasi muslimin.
“Palestina adalah rongga strategis untuk melontarkan semangat utopis Khilafah, ISIS wa ahowatuha,” kata Syifa.
Ketua RT 29, Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto Kot Kediri, Saifuddin Zuhri menyebut mereka hanya mengambil peran lewat medsos biar dikatakan peduli terhadap Palestina. Padahal langkah lain tidak ada yang mereka lakukan.
“Misalnya mereka tidak mendukung pemerintah memainkan diplomasi antar negara maupun kelompok OKI,” kata Saifuddin.
Lantaran tidak ada yang bisa diharap dari kelompok ini, Syifa menyeru masyarakat Kediri memainkan peran dengan mengambil sikap. Bagi mereka yang tergabung di dalam JPKP harus menyatakan sikap, setidaknya lewat siaran pers.
“Bahaya mazhab Trump dan awas penumpang gelap atas nama solidaritas Palestina,”kata Syifa
Saifuddin berharap masyarakat Kediri bisa mendesak ormas NU dan Muhammadiyah memainkan peran strategis mereka sebagai representasi kelompok Islam moderat bersinergi dengan pemerintah RI berdiplomasi dengan negara-negara lain.
“Terakhir yg bisa dikerjakan adalah boikot produk-produk AS dan Zionis Yahudi,” tegas Saifuddin.
Menyikapi keputusan Presiden Donald Trump yang memindahkan Ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, Pendeta Persekutuan Doa Kasih Karunia Kediri, Jeannie Latumahina menganggap hal itu lantaran politik Luar Negeri Amerika Serikat sangat ditentukan oleh posisi Partai Politik (Republik atau Demokrat) dan lobby-lobby politik dengan beragam kepentingan.
“Keputusan politik Donald Trump soal status Yerusalem jelas tak bisa lepas dr situasi perpolitikan Dalam Negeri AS yang dikuasai Partai Republik dengan kebijakan politik domestik yang kuat dan lobby kekuatan ekonomi Yahudi yang cenderung mendikte, maupun dukungan umat Kristen dengan kiblat teologi premilenial dispensationalist (Israel/Yerusalem baru tergenapi sekaangr) yang berhasil mengungguli posisi teologi Kristen Supersessionist (Yerusalem baru tergenapi nanti) yang belakangan agak meredup,” ucapnya
“Donald Trump dengan kepribadian megalomanianya tentu saja melihat situasi perpolitikan nasional Amerika ini sebagaimomentum yang dianggapnya tepat untuk menunjukkan kekuatan visionernya (bak seorang nabi besar), yang ia posisikan berbeda dibanding dengan presiden-presiden sebelumnya terutama dari Partai Demokrat yang selama ini dianggap terlalu lembek dan akomodatif dalam kebijakan politik Luar Negeri AS.”