Oleh: Lam Yaim Darussalam Foto Kediri - Secara geografis Indonesia yang berposisi di bawah ekuator dengan curah hujan yang cukup tinggi mem...
Oleh: Lam Yaim Darussalam
Foto Kediri - Secara geografis Indonesia yang berposisi di bawah ekuator dengan curah hujan yang cukup tinggi membuat tanaman mudah tumbuh. Apalagi dengan kelembaban udaranya cukup tinggi pula, hal itu menambah mudahnya tetumbuhan tak mudah mati. Hampir berbagai jenis tumbuhan mudah tumbuh di tanah air kita. Begitu gampangnya tumbuh, batang dilempar saja tanpa diberi pupuk pun tumbuh. Tidak percaya? Lempar saja batang singkong dan biarkan, ia akan tumbuh dengan sendirinya.
Kelimpahan jenis makanan di Indonesia masih pula ditambah dengan ikan, baik ikan laut ataupun tawar. Dengan posisinya yang berpulau-pulau dan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, ikan kita sebenarnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan. Itu belum lagi ditambah dengan ikan air tawarnya. Sayangnya ikan laut kita bukan kita yang mengonsumsinya, melainkan dibiarkan dicolong pihak asing. Kondisi itu kini mulai dibenahi sejak Susi Pudjiastuti diangkat oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Kerja 2014-2019.
[ads1]
Binatang ternak pun demikian, dengan keberlimpahan tetumbuhan dan rerumputan, ketersediaan akan ternak harusnya melimpah. Kebutuhan akan daging tidak sulit didapatkan, asal setiap warga memiliki lahan mau memelihara ternak dan tentu saja dekat dengan area untuk mendapatkan pakan bagi ternak.
Dari berbagai macam tetumbuhan ikan dan daging itu nyatanya hanya sekian jenis saja yang kita jadikan makanan sehari-hari. Mayoritas masyarakat di bumi nusantara ini hanya menggantungkan makanan pada biji-bijian, yaitu padi. Sayuran daging dan ikan hanya diposisikan sebagai pelengkap. Bahkan, buah-buahan yang berlimpah ruah itu nyaris tidak tersentuh dalam daftar menu sehari-sehari. Jika pun dikonsumsi, ia hanya disajikan ketika untuk melengkapi menu pada acara tertentu, atau ketika disuguhkan kepada tamu.
Sebenarnya tak ada alasan bagi satu pendudukpun yang kekuarangan pangan, apalagi hingga kelaparan. Namun kita seringkali mendengar berita adanya orang yang kekurangan pangan dan anak yang menderita gizi buruk. Bukankah hal itu ironis? Lalu di mana letak salahnya?
Kebijakan negara yang tidak sepenuhnya pro pada rakyat memang menjadi penyumbang adanya orang-orang yang menderita kekuarangan pangan dan gizi buruk, namun menurut hemat saya itu bukan alasan kita untuk berlapar diri. Kecuali jika yang kelaparan dan kekurangan gizi itu tinggal di kota dan berada di sudut gang yang sempit yang tidak memungkinkan lagi untuk bercocok tanam dan beternak.
Lah yang ironis plus mengenaskan itu jika yang kekurangan pangan dan kelaparan adalah mereka yang tinggalnya di desa dengan kepemilikan lahan yang cukup. Lahan-lahan itu kan bisa ditanami sayuran, umbi-imbian dan buah-buahan yang bisa dijadikan makanan. Jika alasan yang dikemukakan adalah kemarau membuat tanaman tidak bisa tumbuh, apakah kita tidak berusaha untuk mencari upaya supaya tidak lapar? Apakah tidak ada jenis tanaman lain bisa dikonsumsi yang bisa ditanam dalam kondisi kritis?
Dari sini kita layak mempertanyakan doktrin yang tertanam dalam benak kita bahwa untuk makan harus pakai nasi. Begitu kuatnya doktrin itu, orang Indonesia hanya menyebutnya ‘sudah makan’ ketika telah makan nasi. Ketika mengemil, memakan jajanan, bahkan makan ubi pun tidak dianggapnya sebagai ‘telah makan’.
Saya ingin menceritakan seorang yang mengikuti pendidikan di TNI, satu sesi pendidikan yang harus ditempuh dan wajib dilaksanakan adalah survival. Mereka dilepaskan ke hutan belantara untuk jangka waktu satu hingga tiga bulan tanpa bekal apapun dan alat apapun. Para taruna ini harus bertahan hidup di tengah belantara selama menempuh pendidikan survival ini. Sebelumnya mereka telah diberi pengetahuan jenis daun-daunan dan buah-buahan yang bisa dikonsumsi. Menurut cerita, agar bertahan hidup, mereka mencari dedaunan, buah-buahan serta binatang hutan untuk dimakan. Tentu saja untuk memakan dedaunan tidak mungkin direbus terlebih dahulu karena memang tidak ada peralatan yang bisa digunakan untuk merebus dedaunan. Mereka memakan dedaunan itu mentah-mentah. Jika bertemu binatang, mereka harus melumpuhkan kemudian membakarnya. Untuk menghadirkan api, mereka mengosok-gosok batang kayu ataupun batu yang didekatkan dengan ranting yang mudah terbakar.
Nyaris tidak ada yang gagal dari mereka dalam menempuh sesi survival ini. Nyatanya mereka tetap hidup di tengah ganasnya rimba belantara itu hingga usai masa sesi survival yang harus dilakoninya. Para taruna TNI itu mampu bertahan hidup karena telah mengubah mindset bahwa untuk bertahan hidup tidak harus makan nasi saja, melainkan apapun yang bisa dimakan.
Mengapa kita mengubah mindset kita tentang apa yang kita makan? Jika kita mampu mengubah doktrin makanan yang telah lama tertanam dalam benak, kita tak akan pernah lagi kelaparan. Doktrin-doktrin itulah yang membuat kita kelaparan dan kekuarangan pangan. Doktrin-doktrin itu pulalah yang membuat kita kekurangan gizi. Nyatanya kita hanya mau makan jika terasa lezat di lidah. Kita makan bukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita.
[ads1]
Saya tidak mungkin menulis artikel ini jika saya bukan praktisinya. Sudah hampir dua bulan ini saya mengubah pola makan. Nyaris saban hari saya hanya memakan buah, sayuran, umbi-umbian, daging dan telur. Saya tidak lagi bergantung pada beras dan tidak mengutamakan makanan pada kelezatannya.
Jika kita telah mampu mengubah mindset kita tentang apa yang harus kita makan, maka tidak perlu susah jika harga beras mahal. Bahkan, jika ada embargo ekonomi yang ditujukan ke negara ini kita tetap bisa bertahan hidup. Kita tidak akan lagi bergantung pada bahan makanan tertentu. Kita akan tetap bisa menjalani hidup dengan enjoy dengan bahan makanan yang telah tersedia di bumi Indonesia. Asal tidak ada kemarau panjang yang bertahun-tahun hingga mematikan tetumbuhan, kita tetap masih bisa makan. Andai pun tidak ada buah-buahan, umbi-umbian dan biji-bijian, selama masih ada dedaunan dan rumput yang tidak beracun, kita tetap bisa bertahan hidup. Bukankah kangkung dan bayam jenis rerumputan? Andai tidak menemukan kangkung dan bayam, carilah rumput lain yang bisa dimakan. Kecuali jika rumput pun telah diembargo pula. Atau jika untuk mendapatkan rumput itu, kita dikanakan pajak oleh negara. Atau jika rumput itu telah dimiliki korporasi dan diberi merek “Samsung, Sony, Apple, Hermes atau Gucci”