Foto Kediri - Bermacam-macam nama kerupuk yang mudah dijumpai di setiap sudut wilayah Kediri ini. Ada yang menyebutnya kerupuk bledes, keru...

Foto Kediri - Bermacam-macam nama kerupuk yang mudah dijumpai di setiap sudut wilayah Kediri ini. Ada yang menyebutnya kerupuk bledes, kerupuk pasir, kerupuk tayamum dan kerupuk upil. Dari semua sebutan itu, yang paling populer adalah kerupuk upil. (Baca: Dari Gitaris Menjadi Perajin Lampu Hias)
Disebut kerupuk tayamum lantaran untuk menggoreng kerupuk ini menggunakan pasir yang telah dibersihkan. Di Kediri, kerupuk upil lazim disuguhkan menggunakan sambal kacang. Kadang dicampur pula dengan pecel
Di Desa Bukur, Kecamatan Kandangan, usaha kecil dan menengah (UKM) produksi krupuk upil tumbuh mulai tumbuh lantaran pangsa pasarnya tidak mengenal strata sosial dan ekonomi. Tak heran usaha yang dikelola industri rumah tangga ini mampu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat desa.
[ads1]
Sumali (44) warga Desa Bukur merupakan salah satu pengusaha krupuk upil. Ia mengaku merintis usaha tersebut sejak tahun 2011. Menekuni usaha krupuk upil lantaran usaha kecil ini bisa berkelanjutan. Sebab, penggemar krupuk tanpa minyak ini kian hari kian bertambah.
“Saya dapat saran dari teman. Kalau bisa saat usia 40 tahun harus punya usaha yang berkelanjutan,” kenangnya. (Baca: Orion, Roti Jadul Sejak Jaman Belanda yang Kini Diburu warga Luar Kota)
Saran itulah yang memotivasi dirinya menekuni usaha krupuk upil. Walaupun pada awalnya ia bingung ingin usaha apa, ia memutuskan untuk membuka usaha produksi krupuk upil. Untuk cara pembuatannya ia sengaja berguru pada kenalannya di Jombang yang juga memproduksi kerupuk yang sama.
[ads1]
Ia memilih krupuk tradisional khas desa ini lantaran makanan tersebut mudah diterima masyarakat. Untuk diketahui, kerupuk upil sangat mudah dijumpai di pasar, di warung ataupun di toko khusus penjual krupuk baik di kota ataupun di desa.
“Jadi kita tidak perlu susah payah memasarkan produk yang sudah dikenal masyarakat ini,” ujarnya.
Awalnya memasarkan krupuknya sangat susah karena pemain lama sudah sangat menguasai pasar. Sebagai pemain baru ia harus bersaing dengan pemain lama yang sangat banyak jumlahnya. Pernah ia mencoba menawarkan kerupuknya hingga Lamongan.
“Saya nginap dua hari di sana dan berkeliling di kota-kota sekitarnya,” kenang Sumali.
Seingatnya saat itu ia membawa 120 kerupuk. Per bungkus isi 5 kilogram. Namun yang laku hanya 20 bungkus. Kondisi serupa terus menimpanya hingga dua bulan. Ia pantang menyerah dan tetap meneruskan tekadnya. Ia tetapkan bertahan dengan usaha yang telah diputuskannya itu.
“Saya tidak malu meski harus memasuki pasar-pasar tradisional,” terangnya. (Baca: Kerajinan Sulam Tangan Desa Sidorejo Produk Unggulan Kabupaten Kediri)
Seiring berjalannya waktu, produknya diterima masyarakat. Pedagang kerupuk bersedia menerima stok produknya. Sedikit-demi sedikit ia berhasil menembus pasar. Kini ia per hari bisa memproduksi 2.5 kuintal krupuk yang sudah digoreng.
Untuk memperoduksi sebanyak itu ia mempekerjakan delapan karyawan. Area pemasarannya pun kian meluas. Tidak hanya Kediri, produk krupuknya dipasarkan hingga luar kota, bahkan luar provinsi. “Biasanya ke Jombang. Kalau yang paling jauh sampai wilayah Pati, Jawa Tengah,” terang Sumali.
Ada dua jenis krupuk yang diproduksi Sumali. Per kilogram krupuk mentah tanpa bumbu dijual seharga Rp 6.000-7.000. Sedangkan dengan bumbu dijual seharga Rp 8.000-8.600 per kilogram. Sekarang ini tidak banyak kendala yang dihadapi dalam memproduksi dan memasarkan kerupuk.
Hanya masalah cuaca saja. Kalau musim hujan kita kesulitan menjemur kerupuk,” tuturnya.
Sumali belum menemukan cara lain mengatasai kendala cuaca dalam mengeringkan kerupuk. Selama ini ia mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan krupuk dengan cara menjemurnya. Menurutnya bisa saja dikeringkan dengan alat tapi keuntungannya tidak maksimal.