[caption id="attachment_643" align="aligncenter" width="640"] Ilustrasi becak di Kediri - Foto: Berita Jatim[...
[caption id="attachment_643" align="aligncenter" width="640"]
Ilustrasi becak di Kediri - Foto: Berita Jatim[/caption]
Foto Kediri - Malam merangkak pelan merambati Kota Kediri yang cerah. Langit yang biasanya menurunkan hujan selama beberapa hari sebelumnya, malam itu tampak tak ada tanda-tanda berat menanggung beban mendung. Lalu lalang kendaraan di sekitar Jalan Veteran pun kian sepi.
Dentang lonceng dari Gereja St Vincentius memanggil hamba Tuhan turut dalam perjamuan Natal sementara di luar Gereja sang pengais rejeki tak lelah meluaskan harapan menjejerkan becaknya di dekat pintu gerbang. (Baca: Umbul-Umbul Desa Kristen Jelang Perayaan Natal)
Hanya harapan itulah yang mereka punya malam itu. Tidak memedulikan kekhidamatan jamuan Natal serta seriusnya aparat kepolisian menjaga kemanan peribadatan malam itu, para abang becak menanti sang rejeki datang. Saat jemaat Gereja pulang, itulah harapan rejeki malam itu.
[ads1]
Momen Natal merupakan kesempatan mereka untuk menghimpun recehan uang dari pemungut kasih Tuhan. Hanya diam tepekur yang mereka lakukan dalam penantian itu, terkecuali Syamsi (60) yang melahap hidangan sebungkus di tangannya.
Di atas becaknya, berbaju batik dan bercelana pendek, Syamsi menghabiskan nasi bungkus yang ia beli di warung. Guratan tangannya yang menua mengelapkan sisa makanan yang menempel di telapaknya pada bungus nasi itu.
“Menanti penumpang yang keluar dari Gereja,” kata Syamsi memecah malam yang kian sunyi
[ads1]
Dirinya memang sedang menanti salah satu jemaat Gereja yang sebelumnya ia antar. Tidak ada rokok yang menemaninya usai melahap sebungkus nasi. Hanya beberapa teguk air putih yang marayapi kerongkongannya. Air putih dalam botol itu ia bawa dari rumahnya.
Alam memang sedang menyeleksi dengan caranya sendiri. Entah karena alam sedang bergerak menuju kesempurnaan ataukah lantaran kemajuan zaman , armada beroda tiga yang dahulunya akrab bagi masyarakat Kediri kian diacuhkan saja.
Armada rakyat ini harus bersaing ketat dengan pemain baru yang lebih canggih dengan dukungan teknologi aplikasi. Apalagi becak memang mengandalkan tenaga kaki operatornya tentu tidak mampu bersaing dengan mesin yang didukung teknologi. (Baca: Warung Kopi di Desa dengan Fasilitas Wifi Gratis)
Berbeda dengan ojek online yang mulai memasuki arena bisnis transportasi Kediri. Moda transportasi baru itu kian jumawa dan lincah memungut penumpang di sudut-sudut kota. Beruntunglah tidak ada driver yang sedang ngetem di sekitar Gereja malam itu, para tukang becak tidak harus bergelayut dengan gelisahnya persaingan.
Siangnya Syamsi hanya mengantarkan penumpang dua kali. Kedua penumpungnya merupakan jemaat Gereja yang tinggal di Jalan Kawi Kota Kediri. Dari kedua kali menarik becak, Syamsi mendapat uang Rp 30 ribu. Kondisi itu berbeda dengan sepuluh tahun sebelumnya, ia bisa mendapatkan sepuluh penumpang pada siang harinya.
“Sekarang pemilik sepeda motor dan mobil semakin banyak, ditambah pula hadirnya ojek online,” kata laki-laki yang tinggal di Tamanan itu.
Malam kian merayapi pori-pori kulit Syamsi yang kian menua. Ia pun membetulkan posisi duduknya mengusir dingin yang menerpanya. Tidak peduli malam telah berada di angka 23.30 WIB, ia tetap berada di atas becaknya melanjutkan curahan hatinya.
“Becak sekarang sepi mas, beruntung saya telah mendapatkan Rp 30 ribu siang tadi,” ucapnya. (Baca: Pasutri Miskin Tinggal di Rumah Seng Berkarat. Tanahnya Milik PG Pesantren)
Bagi Syamsi misa Natal malam itu menjadi harapannya untuk menambah teman yang telah bertengger di kantong sakunya. Padahal sebelumnya telah ia kurangi untuk membeli nasi bungkus. Dua orang penumpang lagi baginya sudah cukup untuk beranjak pulang menemui keluarganya.
Syamsi memiliki tiga orang anak dari pernikahannya. Anak pertamanya telah berkeluarga. Beruntung kedua anaknya yang lain telah bekerja sehingga beban beratnya telah terkurangi. Selama 30 tahun menjadi penarik becak itu, ia membesarkan anak-anaknya.
“Penarik becak yang ada ini rata-rata generasi tua, generasi muda tidak ada yang mau menarik becak,” ujar Syamsi melanjutkan pembicaraannya.
Ucapan Syamsi memang benar. Delapan penarik becak yang sedang berjejer di depan pintu gerbang Gereja itu rata-rata umurnya di atas 50-an. Sebagaimana dirinya, mereka duduk tepekur di atas becaknya masing-masing menanti jemaat Gereja keluar.
Syamsi sendiri tak tau kapan mengakhiri profesinya sebagai penarik becak. Yang pasti malam itu ia berharap ada tambahan dua penumpang. Merayapnya malam sebagaimana merayapnya harapan Syamsi yang entah terwujud atau tidak. Kuasa malam tidak memberikan jawaban pasti kepadanya
“Dua penumpang lagi sudah cukuplah,” harapnya.

Foto Kediri - Malam merangkak pelan merambati Kota Kediri yang cerah. Langit yang biasanya menurunkan hujan selama beberapa hari sebelumnya, malam itu tampak tak ada tanda-tanda berat menanggung beban mendung. Lalu lalang kendaraan di sekitar Jalan Veteran pun kian sepi.
Dentang lonceng dari Gereja St Vincentius memanggil hamba Tuhan turut dalam perjamuan Natal sementara di luar Gereja sang pengais rejeki tak lelah meluaskan harapan menjejerkan becaknya di dekat pintu gerbang. (Baca: Umbul-Umbul Desa Kristen Jelang Perayaan Natal)
Hanya harapan itulah yang mereka punya malam itu. Tidak memedulikan kekhidamatan jamuan Natal serta seriusnya aparat kepolisian menjaga kemanan peribadatan malam itu, para abang becak menanti sang rejeki datang. Saat jemaat Gereja pulang, itulah harapan rejeki malam itu.
[ads1]
Momen Natal merupakan kesempatan mereka untuk menghimpun recehan uang dari pemungut kasih Tuhan. Hanya diam tepekur yang mereka lakukan dalam penantian itu, terkecuali Syamsi (60) yang melahap hidangan sebungkus di tangannya.
Di atas becaknya, berbaju batik dan bercelana pendek, Syamsi menghabiskan nasi bungkus yang ia beli di warung. Guratan tangannya yang menua mengelapkan sisa makanan yang menempel di telapaknya pada bungus nasi itu.
“Menanti penumpang yang keluar dari Gereja,” kata Syamsi memecah malam yang kian sunyi
[ads1]
Dirinya memang sedang menanti salah satu jemaat Gereja yang sebelumnya ia antar. Tidak ada rokok yang menemaninya usai melahap sebungkus nasi. Hanya beberapa teguk air putih yang marayapi kerongkongannya. Air putih dalam botol itu ia bawa dari rumahnya.
Alam memang sedang menyeleksi dengan caranya sendiri. Entah karena alam sedang bergerak menuju kesempurnaan ataukah lantaran kemajuan zaman , armada beroda tiga yang dahulunya akrab bagi masyarakat Kediri kian diacuhkan saja.
Armada rakyat ini harus bersaing ketat dengan pemain baru yang lebih canggih dengan dukungan teknologi aplikasi. Apalagi becak memang mengandalkan tenaga kaki operatornya tentu tidak mampu bersaing dengan mesin yang didukung teknologi. (Baca: Warung Kopi di Desa dengan Fasilitas Wifi Gratis)
Berbeda dengan ojek online yang mulai memasuki arena bisnis transportasi Kediri. Moda transportasi baru itu kian jumawa dan lincah memungut penumpang di sudut-sudut kota. Beruntunglah tidak ada driver yang sedang ngetem di sekitar Gereja malam itu, para tukang becak tidak harus bergelayut dengan gelisahnya persaingan.
Siangnya Syamsi hanya mengantarkan penumpang dua kali. Kedua penumpungnya merupakan jemaat Gereja yang tinggal di Jalan Kawi Kota Kediri. Dari kedua kali menarik becak, Syamsi mendapat uang Rp 30 ribu. Kondisi itu berbeda dengan sepuluh tahun sebelumnya, ia bisa mendapatkan sepuluh penumpang pada siang harinya.
“Sekarang pemilik sepeda motor dan mobil semakin banyak, ditambah pula hadirnya ojek online,” kata laki-laki yang tinggal di Tamanan itu.
Malam kian merayapi pori-pori kulit Syamsi yang kian menua. Ia pun membetulkan posisi duduknya mengusir dingin yang menerpanya. Tidak peduli malam telah berada di angka 23.30 WIB, ia tetap berada di atas becaknya melanjutkan curahan hatinya.
“Becak sekarang sepi mas, beruntung saya telah mendapatkan Rp 30 ribu siang tadi,” ucapnya. (Baca: Pasutri Miskin Tinggal di Rumah Seng Berkarat. Tanahnya Milik PG Pesantren)
Bagi Syamsi misa Natal malam itu menjadi harapannya untuk menambah teman yang telah bertengger di kantong sakunya. Padahal sebelumnya telah ia kurangi untuk membeli nasi bungkus. Dua orang penumpang lagi baginya sudah cukup untuk beranjak pulang menemui keluarganya.
Syamsi memiliki tiga orang anak dari pernikahannya. Anak pertamanya telah berkeluarga. Beruntung kedua anaknya yang lain telah bekerja sehingga beban beratnya telah terkurangi. Selama 30 tahun menjadi penarik becak itu, ia membesarkan anak-anaknya.
“Penarik becak yang ada ini rata-rata generasi tua, generasi muda tidak ada yang mau menarik becak,” ujar Syamsi melanjutkan pembicaraannya.
Ucapan Syamsi memang benar. Delapan penarik becak yang sedang berjejer di depan pintu gerbang Gereja itu rata-rata umurnya di atas 50-an. Sebagaimana dirinya, mereka duduk tepekur di atas becaknya masing-masing menanti jemaat Gereja keluar.
Syamsi sendiri tak tau kapan mengakhiri profesinya sebagai penarik becak. Yang pasti malam itu ia berharap ada tambahan dua penumpang. Merayapnya malam sebagaimana merayapnya harapan Syamsi yang entah terwujud atau tidak. Kuasa malam tidak memberikan jawaban pasti kepadanya
“Dua penumpang lagi sudah cukuplah,” harapnya.