[caption id="attachment_899" align="aligncenter" width="640"] Jumari, penjual aneka jajanan tradisional di Ke...
[caption id="attachment_899" align="aligncenter" width="640"]
Jumari, penjual aneka jajanan tradisional di Kediri yang tetap gigih menjajakan dagangan kepada konsumen setianya. - Foto: bisniskini.com[/caption]
Foto Kediri - Perkembangan bisnis makanan di Kota dan Kabuptaen Kediri semakin pesat saja, akan tetapi jajanan tradisional atau seringkali masyarakat menyebutnya ‘jajanan pasar’ masih tetap bertahan di tengah serbuan jajanan pendatang baru dengan ragam inovasi.
Bagi pedagang yang menekuni usaha makanan tradisional ini bukan hal perlu dikhawatrikan. Sebab penggemar jajanan pasar masih banyak di wilayah Kediri. Tentu persaingat ketat terjadi antara pengusaha jajanan. Persaingan ketat itu tak menyurutkan semangat Jumari, penjual aneka jajanan tradisional di Kediri tetap gigih menjajakan dagangan kepada konsumen setianya.
Sebagaimana diwartakan bisniskini.com, pria setengah baya asal Dusun Kamal, Desa Wonoasri, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, mengaku, berusaha keras menjual jajanan pasar itu. Ragam panganan tradisional ini ia jajakan di Pasar Jatikapur, Kabupaten Kediri.
Ragam panganan itu diantaranya cenil, klepon, lupis atau lopis. Ada pula, samplok merupakan sejenis kue dari bahan ketela pohon yang diolah dengan dikukus. Bahkan Jumari juga menjual sego ampok atau nasi jagung yang dibungkus secara unik dan beralaskan daun pisang. (Baca: Orion, Roti Jadul Sejak Jaman Belanda yang Kini Diburu warga Luar Kota)
“Ya bagaimana lagi, kemampuan saya hanya ini, tapi alhamdulillah sejak membuka lapak di sini selama setahun terakhir ini banyak yang datang untuk membeli. Kecuali saat hujan tiba, ya terpaksa dagangan ini tidak laku dan saya bawa pulang lagi,” kata Jumari, 5 Januari 2018.
[ads1]
Jumari mengaku dalam sehari bisa menjual sekitar 20 bungkus lebih paket jajan pasar. Ada yang membeli secara campur, dan ada konsumen memesan khusus. Seperti hanya berisikan lupis ataupun cenil saja di tiap bungkusnya. Dirinya juga menerima pesanan jajanan tradisional itu.
“Saat berjualan, kami tidak mematok harga mahal. Akan tetapi, konsumen cukup membayar Rp 2 ribu per bungkus,” katanya.
Jumari mengaku tak memiliki tips khusus untuk menarik pembeli. Ia hanya mengandalkan senyum agar pembeli merasa nyaman. Saat berdagan dirinya hanya menggelar lapak cukup minim, dengan bermodalkan meja berukuran panjang, sekitar 75 centimeter dan lebar 50 centimeter.
“Meski berjualan jajan pasar,saya tetap ramah dengan konsumen. Setiap ada pembeli saya selalu senyum dan mengajak mereka mengobrol, tak jarang ada tetangga dekat rumah yang juga datang ke sini,” katanya.
Romlah, salah satu pembeli jajan pasar, mengatakan, sangat sering membeli dagangan milik Jumari. Selain rasanya yang legit, memang penjual penganan tradisional semacam ini susah ditemukan.
Setiap bertandang ke lapak tersebut, nenek dengan satu orang cucu itu sering membeli 10 bungkus cenil campur. Selain itu, ia juga kerap membeli empat bungkus sego ampok atau sering disebut nasi jagung.
“Untuk nasi jagung, harganya juga relatif murah yakni Rp 3 ribu per bungkus. Dalam satu wadah, sudah termasuk nasi jagung, lengkap dengan peyek ikan asin goreng, dan kulupan daun pepaya, kenikir, serta ketela pohon,” katanya. (Baca: Pecel Punten dengan Yel-Yel Khas ‘Mbenjing Mriki Malih Nggih’)
Bagi Romlah dengan membeli panganan tradisional itu seperti bernostalgia. Sebab, bagi dirinya membeli jajanan pasar mengingatkan kenangannya sewaktu kecil bersama ibunya. Bila ibunya ke pasar dirinya diberikan oleh-oleh jajanan pasar. Ia merasa gembira karena pada saat itu jajanan ini terasa istimewa.
“Tepatnya, saat dibelikan oleh-oleh jajan pasar dari ibu usai berbelanja di pasar,” katanya. (Baca: Yuk Sarapan Pagi di Jalan Dhoho)
Dia berharap, ke depan ada banyak penjual serupa yang masih eksis dengan jajanan tradisional. Di samping akan menghasilkan pundi-pundi keuangan, kerja keras dan semangat mereka tersebut bisa sekaligus melestarikan potensi makanan khas daerah ke pasar nasional maupun global.
“Ada baiknya mereka bisa juga memanfaatkan media digital dalam pemasaran produknya, sehingga makin dikenal masyarakat luas termasuk generasi muda masa kini,” katanya.

Foto Kediri - Perkembangan bisnis makanan di Kota dan Kabuptaen Kediri semakin pesat saja, akan tetapi jajanan tradisional atau seringkali masyarakat menyebutnya ‘jajanan pasar’ masih tetap bertahan di tengah serbuan jajanan pendatang baru dengan ragam inovasi.
Bagi pedagang yang menekuni usaha makanan tradisional ini bukan hal perlu dikhawatrikan. Sebab penggemar jajanan pasar masih banyak di wilayah Kediri. Tentu persaingat ketat terjadi antara pengusaha jajanan. Persaingan ketat itu tak menyurutkan semangat Jumari, penjual aneka jajanan tradisional di Kediri tetap gigih menjajakan dagangan kepada konsumen setianya.
Sebagaimana diwartakan bisniskini.com, pria setengah baya asal Dusun Kamal, Desa Wonoasri, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, mengaku, berusaha keras menjual jajanan pasar itu. Ragam panganan tradisional ini ia jajakan di Pasar Jatikapur, Kabupaten Kediri.
Ragam panganan itu diantaranya cenil, klepon, lupis atau lopis. Ada pula, samplok merupakan sejenis kue dari bahan ketela pohon yang diolah dengan dikukus. Bahkan Jumari juga menjual sego ampok atau nasi jagung yang dibungkus secara unik dan beralaskan daun pisang. (Baca: Orion, Roti Jadul Sejak Jaman Belanda yang Kini Diburu warga Luar Kota)
“Ya bagaimana lagi, kemampuan saya hanya ini, tapi alhamdulillah sejak membuka lapak di sini selama setahun terakhir ini banyak yang datang untuk membeli. Kecuali saat hujan tiba, ya terpaksa dagangan ini tidak laku dan saya bawa pulang lagi,” kata Jumari, 5 Januari 2018.
[ads1]
Jumari mengaku dalam sehari bisa menjual sekitar 20 bungkus lebih paket jajan pasar. Ada yang membeli secara campur, dan ada konsumen memesan khusus. Seperti hanya berisikan lupis ataupun cenil saja di tiap bungkusnya. Dirinya juga menerima pesanan jajanan tradisional itu.
“Saat berjualan, kami tidak mematok harga mahal. Akan tetapi, konsumen cukup membayar Rp 2 ribu per bungkus,” katanya.
Jumari mengaku tak memiliki tips khusus untuk menarik pembeli. Ia hanya mengandalkan senyum agar pembeli merasa nyaman. Saat berdagan dirinya hanya menggelar lapak cukup minim, dengan bermodalkan meja berukuran panjang, sekitar 75 centimeter dan lebar 50 centimeter.
“Meski berjualan jajan pasar,saya tetap ramah dengan konsumen. Setiap ada pembeli saya selalu senyum dan mengajak mereka mengobrol, tak jarang ada tetangga dekat rumah yang juga datang ke sini,” katanya.
Romlah, salah satu pembeli jajan pasar, mengatakan, sangat sering membeli dagangan milik Jumari. Selain rasanya yang legit, memang penjual penganan tradisional semacam ini susah ditemukan.
Setiap bertandang ke lapak tersebut, nenek dengan satu orang cucu itu sering membeli 10 bungkus cenil campur. Selain itu, ia juga kerap membeli empat bungkus sego ampok atau sering disebut nasi jagung.
“Untuk nasi jagung, harganya juga relatif murah yakni Rp 3 ribu per bungkus. Dalam satu wadah, sudah termasuk nasi jagung, lengkap dengan peyek ikan asin goreng, dan kulupan daun pepaya, kenikir, serta ketela pohon,” katanya. (Baca: Pecel Punten dengan Yel-Yel Khas ‘Mbenjing Mriki Malih Nggih’)
Bagi Romlah dengan membeli panganan tradisional itu seperti bernostalgia. Sebab, bagi dirinya membeli jajanan pasar mengingatkan kenangannya sewaktu kecil bersama ibunya. Bila ibunya ke pasar dirinya diberikan oleh-oleh jajanan pasar. Ia merasa gembira karena pada saat itu jajanan ini terasa istimewa.
“Tepatnya, saat dibelikan oleh-oleh jajan pasar dari ibu usai berbelanja di pasar,” katanya. (Baca: Yuk Sarapan Pagi di Jalan Dhoho)
Dia berharap, ke depan ada banyak penjual serupa yang masih eksis dengan jajanan tradisional. Di samping akan menghasilkan pundi-pundi keuangan, kerja keras dan semangat mereka tersebut bisa sekaligus melestarikan potensi makanan khas daerah ke pasar nasional maupun global.
“Ada baiknya mereka bisa juga memanfaatkan media digital dalam pemasaran produknya, sehingga makin dikenal masyarakat luas termasuk generasi muda masa kini,” katanya.