[caption id="attachment_830" align="aligncenter" width="640"] Sumber: tirto.id[/caption] Foto Kediri - Penye...
[caption id="attachment_830" align="aligncenter" width="640"]
Sumber: tirto.id[/caption]
Foto Kediri - Penyebaran agama Kristen di Jawa khususnya di Kediri bisa disebut unik. Betapa tidak, desa Kristen diapit desa muslim. Pun demikian hingga kini tidak terjadi penyebaran Kristen ke desa sebelahnya. (Baca: Umbul-Umbul Desa Kristen Jelang Perayaan Natal)
Belanda yang dianggap sebagai pemilik peran utama dalam penyebaran agama Kristen nyatanya tak begitu berminat mengkristenkan tanah Jawa. Belanda dalam mengirim para penginjil baru terlihat sejak 1848, ketika tiga misionaris masuk ke Jawa.
Kebudayaan dan kepercayaan lokal berbalut mistisisme Hindu dan Islam dinilai sebagai penyebabnya. Oleh sebab itu para penginjil dituntut untuk mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa tersebut.
Keseriusan Belanda dalam menginjilkan Jawa baru terlihat sejak 1848, itu pun bukan dalam rangka mengristenkan masyarakat Jawa. Saat itu Belanda menugaskan tiga misionaris masuk ke Jawa. Dari tiga orang tersebut, hanya Jellesma yang tampaknya benar-benar menjalankan tugas keagamaan. Ia berdakwah di sebuah desa Kristen Mojowarno yang sudah eksis sebelumnya.
[ads1]
Kedatangan para misionaris meningkat antara 1860-1870. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh-tokoh Kristen dari kalangan bumiputera yang mendapuk pemuka agama Kristen. dengan wawasan ngelmu yang mumpuni mengelaborasi teologi dengan kejawaan. Dari sini muncul Kristen Jawi Wetan.
Para penginjil dari Barat mengkritik mereka, bahkan tak jarang melabeli para tokoh Kristen Jawa ini sebagai orang yang dangkal ilmunya. Tetapi justru dari penginjil Jawa ini agama Kristen mendapat tempat di hati masyarakat Jawa yang beragam.
Akibat perbedaan cara pandang berdakwah, penginjil Kristen Jawa menyerang balik penginjil Barat. Mereka menyebut penginjil Barat ini tak paham apa-apa soal mistisisme Jawa dan segenap struktur sosial budaya masyarakat Jawa.
Dari sederet tokoh pendakwah Kristen Jawa yang menonjol, salah satunya adalah kemunculan seorang dari Jepara bernama Ngabdullah yang awalnya seorang muslim. Belakangan setelah menjadi pendakwah Kristen Jawa mengganti namanya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung.
Sebagaimana dilaporkan tirto.id, Peneliti C. Guillot dalam bukunya yang berjudul Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa mencatat soal perjalanan hidup Ngabdullah. Ia lahir pada awal abad ke-19 di Kawedanan Juwana dekat Jepara. Dari laporan resi Jepara menyebutkan bahwa Ngabdullah muda adalah seorang petani.
Gara-gara kesulitan ekonomi yang hebat lantaran aturan sistem Cultursteelsel pada 1840, Ngabdullah merantau ke tempat baru, Kediri yang dituju. Di Kediri, Ngabdullah memilih tinggal di daerah Gunung Kelud. Di tempat itu menjadi seorang pandito (pertapa). Dari hasil pertapaannya ini, Ngabdullah memutuskan untuk ganti nama jadi Tunggul Wulung. (Baca: Menteri ESDM Ignasius Jonan Wisata Religi ke Gereja Puhsarang Kediri)
Sejauh ini para peneliti belum dapat mengungkap dengan pasti, kapan seorang Ngabdullah yang bersalin nama menjadi Tunggul Wulung ini mulai mengenal ajaran Kristus. Ada beberapa versi cerita, salah satunya dari Tunggul Wulung sendiri.
Diskisahkan, suatu hari ia mendapat wahyu yang memerintahkan dirinya mencari keterangan mengenai “Kesepuluh Perintah Tuhan” yang ditemukan di bawah tikar tempat tidurnya. Peristiwa ini kemudian mengantarkan Tunggul Wulung untuk berangkat ke Mojowarno, sebuah desa Kristen di selatan Jombang, untuk menemui seorang misionaris bernama Jellesma.
Jellesma kemudian memberinya kitab Perjanjian Baru. Tunggul Wulung pun tinggal beberapa bulan di Mojowarno dan setelah itu mengembara ke sebuah desa Kristen kecil bernama Belum. Letaknya tidak jauh dari Ngoro, desa Kristen yang dibuka oleh Coolen, seorang pendakwah Kristen asal Belanda.
Laporan Komite Jawa (Java Comite) mencatat soal semangat Tunggul Wulung ini. “Walaupun usianya sudah 60 tahun, dengan semangat dan ketekunan yang meluap-luap demi bangsanya, ia berjalan kaki dari kota ke kota, dari desa ke desa, untuk mengabarkan Injil, tanpa menerima bantuan keuangan sedikitpun dari siapapun.”
Jellesma pun membaptis Tunggul Wulung bersama istrinya, Endang Sang Purnawati pada 6 Juli 1857 dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung. Selama dua puluh tahun berikutnya, Ibrahim Tunggul Wulung berkelana ke banyak tempat di Pulau Jawa mengajarkan agama Kristen.
Setelah dibaptis Jellesma, Tunggul Wulung memilih mendirikan komunitas jemaat Kristen yang mandiri dari Belanda. “Kristen Jowo”, demikian komunitas itu dikenal, akhirnya bersaing dengan kaum “Kristen Londo”. “Tidaklah baik bagi orang-orang Jawa berkumpul di kediaman misionaris Belanda” kata Tunggul Wulung.
Tunggul Wulung membuka Hutan Bondo, menyusul pendirian desa Kristen seperti Banyutowo, Tegalombo dan lainnya. Sama seperti Coolen, peran Tunggul Wulung di desa-desa tersebut sebagai pendiri, kepala desa, sekaligus pengkhotbah tentang "Ratu Adil Isa Rohallah".
Saat berada di Bondo, Tunggul Wulung ditemui oleh Radin Abas, seorang santri yang tengah keluar berkelana mencari ilmu dan jati diri. Belakangan Radin Abas masuk Kristen dengan nama Kiai Sadrach, yang kelak diingat sebagai figur intelektual Kristen Jawa dengan latar belakang pengetahuan agama dan kebudayaan Jawa.
Misionaris Semarang F.L. Anthing suatu ketika menawari Tunggul Wulung untuk menyebarkan agama dari rumah ke rumah. Imbalannya, ia akan mendapat upah. Karena merasa segan mengingat ia sudah tinggal di rumah Anthing, akhirnya Ibrahim mengerjakan tugas tersebut selama lima bulan, berkelana di sekitar Batavia, Bogor, dan Tangerang. Setelah berhenti dari pekerjaan itu, Ibrahim melanjutkan perjalanannya sendiri ke Purbalingga, Banyumas, dan Purwokerto.
[ads1]
Ibrahim Tunggul Wulung meyakini ada kesamaan baik isi ajaran maupun tujuan antara Islam dan Kristen. Karena itu melarang para pengikutnya menghina Nabi Muhammad barang sedikitpun. Konsep Ratu Adil dan Messiah Jawa pada akhirnya mendominasi pengajarannya tentang agama Kristen.
Tunggul Wulung punya keahlian lain yakni dalam bidang klenik. Sambil merapal jampi-jampi, ia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan hembusan atau menggosok daerah yang sakit. Kata orang, ia kebal dan dapat mengusir roh jahat. (Baca: Cara Unik Warga Desa Merayakan Tahun Baru dengan Miniatur Truk)
Sikap lainnya yang bikin jengkel orang-orang Belanda adalah keengganan Tunggul Wulung duduk bersila dan berlutut ketika berkomunikasi dengan para pejabat pemerintah termasuk misionaris. Ia memilih tetap berdiri dalam balutan busana Eropa. Sedangkan di hadapan para pengikutnya, ia menempatkan dirinya bak sosok pangeran Jawa yang memimpin jemaatnya dengan penuh percaya diri.
Campuran mistisisme Jawa dan Kekristenan Tunggul Wulung membuat para misionaris Barat menganggapnya kurang Kristen. Salah satunya Pieter Jansz, misionaris Mennonit asal Jepara yang tidak bersedia membaptis Tunggul Wulung.
Menurut buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Tunggul Wulung menilai kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang harus diungkap secara mendalam.
Versi lain datang dari Jellesma, misionaris pertama yang datang ke Jawa pada 1848 dan melayani orang-orang Kristen Jawa di Mojowarno. Betapapun rekan misionaris lainnya menilai Tunggul Wulung dengan kacamata Kristen ala Barat, Jellesma justru paham tentang kekhasan Kristen Jawa—bisa melihat Tunggul Wulung dengan cara berbeda.
Lagi pula, Jellesma sudah punya kesan baik akan Tunggul Wulung sejak ia mengaku mendapat wahyu berupa Sepuluh Perintah di bawah tikar tidurnya. Apalagi Tunggul Wulung telah menemui Jellesma, Coolen, dan Penginjil Barat bernama Emde.
Di mata para zending, Tunggul Wulung tak lebih dari sekedar guru agama biasa yang merangkap dukun tersohor pada masanya. Terlebih perawakan Tunggul Wulung mendukung auranya sebagai seorang guru atau kiai. Dia digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar, hidung mancung menjulang, dan wajah yang menimbulkan rasa hormat bagi siapapun yang memandang.
Perjumpaan Tunggul Wulung dengan para penginjil Barat lainnya seperti Bruckner di Semarang, Hoezoo dan F.L. Anthing jelas tampaknya tidak mengubah sinkretisme Jawa dan Kristen yang dia praktikkan.
Namun cibiran para penginjil Barat tak pernah berhenti. Bagi misionaris Barat seperti Hoezoo, Ibrahim “memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam Kawa dan dia pergunakan ungkapan-ungkapan Arab, yang menurut dia sesuai dengan pengajaran Kristen, baik makna maupun tujuannya.”
Poensen, misionaris Barat yang melayani Kediri menyebut, “Dia memang sarat dengan ngelmu. Saya yakin bahwa yang diajarkan kepada murid-muridnya lebih banyak ngelmu yang berasal dari Hindu-Budha daripada Kristen.” Sementara misionaris Ganswijk menyebut pengetahuan Tunggul Wulung tentang Injil “sangat dangkal.”
Nama Tunggul Wulung sendiri memang melegenda di Kediri dan khususnya Gunung Kelud. Ia diyakini sebagai jenderal kesayangan Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri.
Dalam narasi Serat Babad Kadhiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja, setelah selesai masa baktinya untuk Prabu Jayabaya, Tunggul Wulung memilih jadi siluman yang diperintahkan tinggal dan menjaga Gunung Kelud dari segala perbuatan yang kotor dan jahat.
Bagaimanapun juga, adalah kerja-kerja Tunggul Wulung menyebar ajaran Kristus lewat jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen Londo yang dihimpun oleh para penginjil Barat.
Seiring usianya yang kian senja, sejak 1875 Ibrahim Tunggul Wulung tinggal di sekitar Gunung Muria sampai tutup usia pada 1885. Ketika ia wafat, jumlah pengikut Kristen di desa tersebut mencapai 1.058 orang. Pasca kematiannya, tak semua jemaat mengikuti warisan pemikiran Ibrahim Tunggul Wulung.
Jansz menyebut, beberapa dari mereka mulai membelot dengan mendekati orang-orang Belanda untuk belajar kekristenan di bawah naungan Gereja Mennonite.

Foto Kediri - Penyebaran agama Kristen di Jawa khususnya di Kediri bisa disebut unik. Betapa tidak, desa Kristen diapit desa muslim. Pun demikian hingga kini tidak terjadi penyebaran Kristen ke desa sebelahnya. (Baca: Umbul-Umbul Desa Kristen Jelang Perayaan Natal)
Belanda yang dianggap sebagai pemilik peran utama dalam penyebaran agama Kristen nyatanya tak begitu berminat mengkristenkan tanah Jawa. Belanda dalam mengirim para penginjil baru terlihat sejak 1848, ketika tiga misionaris masuk ke Jawa.
Kebudayaan dan kepercayaan lokal berbalut mistisisme Hindu dan Islam dinilai sebagai penyebabnya. Oleh sebab itu para penginjil dituntut untuk mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa tersebut.
Keseriusan Belanda dalam menginjilkan Jawa baru terlihat sejak 1848, itu pun bukan dalam rangka mengristenkan masyarakat Jawa. Saat itu Belanda menugaskan tiga misionaris masuk ke Jawa. Dari tiga orang tersebut, hanya Jellesma yang tampaknya benar-benar menjalankan tugas keagamaan. Ia berdakwah di sebuah desa Kristen Mojowarno yang sudah eksis sebelumnya.
[ads1]
Kedatangan para misionaris meningkat antara 1860-1870. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh-tokoh Kristen dari kalangan bumiputera yang mendapuk pemuka agama Kristen. dengan wawasan ngelmu yang mumpuni mengelaborasi teologi dengan kejawaan. Dari sini muncul Kristen Jawi Wetan.
Para penginjil dari Barat mengkritik mereka, bahkan tak jarang melabeli para tokoh Kristen Jawa ini sebagai orang yang dangkal ilmunya. Tetapi justru dari penginjil Jawa ini agama Kristen mendapat tempat di hati masyarakat Jawa yang beragam.
Akibat perbedaan cara pandang berdakwah, penginjil Kristen Jawa menyerang balik penginjil Barat. Mereka menyebut penginjil Barat ini tak paham apa-apa soal mistisisme Jawa dan segenap struktur sosial budaya masyarakat Jawa.
Dari sederet tokoh pendakwah Kristen Jawa yang menonjol, salah satunya adalah kemunculan seorang dari Jepara bernama Ngabdullah yang awalnya seorang muslim. Belakangan setelah menjadi pendakwah Kristen Jawa mengganti namanya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung.
Sebagaimana dilaporkan tirto.id, Peneliti C. Guillot dalam bukunya yang berjudul Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa mencatat soal perjalanan hidup Ngabdullah. Ia lahir pada awal abad ke-19 di Kawedanan Juwana dekat Jepara. Dari laporan resi Jepara menyebutkan bahwa Ngabdullah muda adalah seorang petani.
Gara-gara kesulitan ekonomi yang hebat lantaran aturan sistem Cultursteelsel pada 1840, Ngabdullah merantau ke tempat baru, Kediri yang dituju. Di Kediri, Ngabdullah memilih tinggal di daerah Gunung Kelud. Di tempat itu menjadi seorang pandito (pertapa). Dari hasil pertapaannya ini, Ngabdullah memutuskan untuk ganti nama jadi Tunggul Wulung. (Baca: Menteri ESDM Ignasius Jonan Wisata Religi ke Gereja Puhsarang Kediri)
Sejauh ini para peneliti belum dapat mengungkap dengan pasti, kapan seorang Ngabdullah yang bersalin nama menjadi Tunggul Wulung ini mulai mengenal ajaran Kristus. Ada beberapa versi cerita, salah satunya dari Tunggul Wulung sendiri.
Diskisahkan, suatu hari ia mendapat wahyu yang memerintahkan dirinya mencari keterangan mengenai “Kesepuluh Perintah Tuhan” yang ditemukan di bawah tikar tempat tidurnya. Peristiwa ini kemudian mengantarkan Tunggul Wulung untuk berangkat ke Mojowarno, sebuah desa Kristen di selatan Jombang, untuk menemui seorang misionaris bernama Jellesma.
Jellesma kemudian memberinya kitab Perjanjian Baru. Tunggul Wulung pun tinggal beberapa bulan di Mojowarno dan setelah itu mengembara ke sebuah desa Kristen kecil bernama Belum. Letaknya tidak jauh dari Ngoro, desa Kristen yang dibuka oleh Coolen, seorang pendakwah Kristen asal Belanda.
Laporan Komite Jawa (Java Comite) mencatat soal semangat Tunggul Wulung ini. “Walaupun usianya sudah 60 tahun, dengan semangat dan ketekunan yang meluap-luap demi bangsanya, ia berjalan kaki dari kota ke kota, dari desa ke desa, untuk mengabarkan Injil, tanpa menerima bantuan keuangan sedikitpun dari siapapun.”
Jellesma pun membaptis Tunggul Wulung bersama istrinya, Endang Sang Purnawati pada 6 Juli 1857 dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung. Selama dua puluh tahun berikutnya, Ibrahim Tunggul Wulung berkelana ke banyak tempat di Pulau Jawa mengajarkan agama Kristen.
Setelah dibaptis Jellesma, Tunggul Wulung memilih mendirikan komunitas jemaat Kristen yang mandiri dari Belanda. “Kristen Jowo”, demikian komunitas itu dikenal, akhirnya bersaing dengan kaum “Kristen Londo”. “Tidaklah baik bagi orang-orang Jawa berkumpul di kediaman misionaris Belanda” kata Tunggul Wulung.
Tunggul Wulung membuka Hutan Bondo, menyusul pendirian desa Kristen seperti Banyutowo, Tegalombo dan lainnya. Sama seperti Coolen, peran Tunggul Wulung di desa-desa tersebut sebagai pendiri, kepala desa, sekaligus pengkhotbah tentang "Ratu Adil Isa Rohallah".
Saat berada di Bondo, Tunggul Wulung ditemui oleh Radin Abas, seorang santri yang tengah keluar berkelana mencari ilmu dan jati diri. Belakangan Radin Abas masuk Kristen dengan nama Kiai Sadrach, yang kelak diingat sebagai figur intelektual Kristen Jawa dengan latar belakang pengetahuan agama dan kebudayaan Jawa.
Misionaris Semarang F.L. Anthing suatu ketika menawari Tunggul Wulung untuk menyebarkan agama dari rumah ke rumah. Imbalannya, ia akan mendapat upah. Karena merasa segan mengingat ia sudah tinggal di rumah Anthing, akhirnya Ibrahim mengerjakan tugas tersebut selama lima bulan, berkelana di sekitar Batavia, Bogor, dan Tangerang. Setelah berhenti dari pekerjaan itu, Ibrahim melanjutkan perjalanannya sendiri ke Purbalingga, Banyumas, dan Purwokerto.
[ads1]
Ibrahim Tunggul Wulung meyakini ada kesamaan baik isi ajaran maupun tujuan antara Islam dan Kristen. Karena itu melarang para pengikutnya menghina Nabi Muhammad barang sedikitpun. Konsep Ratu Adil dan Messiah Jawa pada akhirnya mendominasi pengajarannya tentang agama Kristen.
Tunggul Wulung punya keahlian lain yakni dalam bidang klenik. Sambil merapal jampi-jampi, ia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan hembusan atau menggosok daerah yang sakit. Kata orang, ia kebal dan dapat mengusir roh jahat. (Baca: Cara Unik Warga Desa Merayakan Tahun Baru dengan Miniatur Truk)
Sikap lainnya yang bikin jengkel orang-orang Belanda adalah keengganan Tunggul Wulung duduk bersila dan berlutut ketika berkomunikasi dengan para pejabat pemerintah termasuk misionaris. Ia memilih tetap berdiri dalam balutan busana Eropa. Sedangkan di hadapan para pengikutnya, ia menempatkan dirinya bak sosok pangeran Jawa yang memimpin jemaatnya dengan penuh percaya diri.
Campuran mistisisme Jawa dan Kekristenan Tunggul Wulung membuat para misionaris Barat menganggapnya kurang Kristen. Salah satunya Pieter Jansz, misionaris Mennonit asal Jepara yang tidak bersedia membaptis Tunggul Wulung.
Menurut buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Tunggul Wulung menilai kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang harus diungkap secara mendalam.
Versi lain datang dari Jellesma, misionaris pertama yang datang ke Jawa pada 1848 dan melayani orang-orang Kristen Jawa di Mojowarno. Betapapun rekan misionaris lainnya menilai Tunggul Wulung dengan kacamata Kristen ala Barat, Jellesma justru paham tentang kekhasan Kristen Jawa—bisa melihat Tunggul Wulung dengan cara berbeda.
Lagi pula, Jellesma sudah punya kesan baik akan Tunggul Wulung sejak ia mengaku mendapat wahyu berupa Sepuluh Perintah di bawah tikar tidurnya. Apalagi Tunggul Wulung telah menemui Jellesma, Coolen, dan Penginjil Barat bernama Emde.
Di mata para zending, Tunggul Wulung tak lebih dari sekedar guru agama biasa yang merangkap dukun tersohor pada masanya. Terlebih perawakan Tunggul Wulung mendukung auranya sebagai seorang guru atau kiai. Dia digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar, hidung mancung menjulang, dan wajah yang menimbulkan rasa hormat bagi siapapun yang memandang.
Perjumpaan Tunggul Wulung dengan para penginjil Barat lainnya seperti Bruckner di Semarang, Hoezoo dan F.L. Anthing jelas tampaknya tidak mengubah sinkretisme Jawa dan Kristen yang dia praktikkan.
Namun cibiran para penginjil Barat tak pernah berhenti. Bagi misionaris Barat seperti Hoezoo, Ibrahim “memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam Kawa dan dia pergunakan ungkapan-ungkapan Arab, yang menurut dia sesuai dengan pengajaran Kristen, baik makna maupun tujuannya.”
Poensen, misionaris Barat yang melayani Kediri menyebut, “Dia memang sarat dengan ngelmu. Saya yakin bahwa yang diajarkan kepada murid-muridnya lebih banyak ngelmu yang berasal dari Hindu-Budha daripada Kristen.” Sementara misionaris Ganswijk menyebut pengetahuan Tunggul Wulung tentang Injil “sangat dangkal.”
Nama Tunggul Wulung sendiri memang melegenda di Kediri dan khususnya Gunung Kelud. Ia diyakini sebagai jenderal kesayangan Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri.
Dalam narasi Serat Babad Kadhiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja, setelah selesai masa baktinya untuk Prabu Jayabaya, Tunggul Wulung memilih jadi siluman yang diperintahkan tinggal dan menjaga Gunung Kelud dari segala perbuatan yang kotor dan jahat.
Bagaimanapun juga, adalah kerja-kerja Tunggul Wulung menyebar ajaran Kristus lewat jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen Londo yang dihimpun oleh para penginjil Barat.
Seiring usianya yang kian senja, sejak 1875 Ibrahim Tunggul Wulung tinggal di sekitar Gunung Muria sampai tutup usia pada 1885. Ketika ia wafat, jumlah pengikut Kristen di desa tersebut mencapai 1.058 orang. Pasca kematiannya, tak semua jemaat mengikuti warisan pemikiran Ibrahim Tunggul Wulung.
Jansz menyebut, beberapa dari mereka mulai membelot dengan mendekati orang-orang Belanda untuk belajar kekristenan di bawah naungan Gereja Mennonite.