Patung Lembu Suro Foto Kediri - Tak sedikit msyarakat Kediri yang menghubungkan erupsi Gunung Kelud dengan legenda sosok Lembu Suro. To...
![]() |
Patung Lembu Suro |
Foto Kediri - Tak sedikit msyarakat Kediri yang menghubungkan erupsi Gunung Kelud dengan legenda sosok Lembu Suro. Tokoh dalam legenda ini mewarnai sejarah Kabupaten Kediri di Jawa Timur. Juga, sejarah kerajaan Majapahit.
Bahkan, sampai sekarang sebagian masyarakat masih menghubungkan erupsi gunung yang berada di sisi timur Kabupaten Kediri itu dengan sepatan alias kutukan Lembu Suro. Sejarah erupsi Gunung Kelud yang mengandung kutukan yang keluar dari mulut Lembu Suro memang tersebar di kalangan masyarakat sekitar.
Ada beragam versi soal Lembu Sura yang berakhir dengan kutukan dan menjadi sejarah lisan kehadiran Gunung Kelud ini. Meski demikian, semua bertutur tentang cara seorang perempuan cantik yang menolak lamaran Lembu Suro.
Satu versi menceritakan bahwa dahulu, Raja Brawijaya, pemilik kursi kekuasaan kerajaan Majapahit, memiliki putri dengan paras yang sangat cantik, bernama Dyah Ayu Pusparani.
Kisah ini bermula dari kecantikan sang putri yang tersohor. Banyak sekali pemuda yang datang untuk melamar, termasuk Lembu Suro, seorang pemuda dengan kesaktian yang sangat tinggi, namun dia bukan dari kalangan manusia dan memiliki kepala seperti kerbau (dalam bahasa setempat disebut lembu).
Jelas saja sang putri tidak ingin menikah dengan makhluk seperti itu. Tak enak menolak, maka cara sulit diterapkan, yakni Lembu Suro harus menggali sumur yang sangat dalam hanya dalam satu malam.
Dengan kesaktiannya, hal itu bukanlah perkara mustahil bagi Lembu Suro, dia dapat melakukannya dengan mudah dan di seperempat akhir malam, pekerjaannya hampir selesai.
Mendengar kabar bahwa sebentar lagi Lembu Suro menyelesaikan syaratnya, putri Dyah Ayu Pusparani pun menangis histeris, meminta sang raja untuk menyiasati Lembu Suro. Sang raja akhirnya memerintahkan seluruh prajurit untuk mengubur Lembu Suro yang sedang berada di dasar sumur yang sangat dalam tersebut.
Batu demi batu, kerikil demi kerikil, dimasukan dan Lembu Suro pun memohon agar tidak dikubur. Setelah dia menyadari bahwa permohonannya itu sia-sia. Akhirnya dia mengeluarkan 'kutukan'. Kalimat kutukan itu berbunyi “Oh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung. (Oh besok Kediri bakal menemui pembalasanku yang berlipat-lipat, itu Kediri bakal menjadi sungai, Blitar menjadi daratan dan Tulungagung menjadi danau)
Sejak saat itulah legenda Gunung Kelud dan kedahsyatan letusan maupun dampaknya mengemuka. Kisah ini tak beda dengan kisah Rorojonggrang dan legenda candi Prambanan.
Sedangkan dalam versi lainnya, bukanlah Dyah Ayu Pusparani putri Brawijaya yang digambarkan sebagai wanita cantik itu, melainkan Dewi Kilisuci, putri dari Jenggolo Manik. Namun alur ceritanya tetap sama. Hanya ada sedikit tambahan dalam cerita versi Dewi Kilisuci. Setelah mengelabuhi Lembu Suro, Dewi Kilisuci mengasingkan diri dan menjadi pertapa. Ia mendekatkan diri pada sang ilahi untuk menjaga rakyat Kediri dari bahaya kutukan Lembu Suro. Konon Dewi Kilisuci bertapa dua gua Selomanggleng hingga muksa
Terlepas dari kutukan yang diucapkan oleh Lembu Suro, pada tahun 1586, gunung Kelud mengalami letusan yang sangat hebat, membuat 3 tempat yang diucapkan Lembu Suro dalam kutukannya, yakni Kediri, Blitar dan Tulungagung, hancur luluh lantah, sekaligus mengakhiri kekuasaan kerajaan Majapahit.
Para sejarawan bersepakat bahwa pada letusan di tahun 1586 tersebut, setidaknya ada 10.000 orang yang meninggal dunia.
Hari ini, 11 sungai yang terbentuk akibat letusan gunung Kelud terletak di Kediri, Bendungan Wonorejo di Tulungagung dan Blitar menjadi sebidang tanah datar yang dikelilingi sungai dan danau. Senada dengan kutukan Lembu Sura, si manusia berkepala kerbau yang sakti.
Betul, catatan sejarah menyebutkan Kerajaan Majapahit diperkirakan runtuh pada kisaran angka tahun 1478. Namun, para sejarawan hari ini pun mengakui masih banyak yang belum terkuak soal sejarah kerajaan itu, seperti misalnya dugaan ada dua Majapahit pada satu masa. Apa kaitannya dengan Gunung Kelud? Tentu saja letusannya.
Apa kaitannya dengan Gunung Kelud? Tentu saja letusannya. Sebelum letusan pada 2007, setidaknya sejak awal abad 1900-an diketahui bahwa kawah Gunung Kelud memiliki danau. Kecuali letusan pada 2007, letusannya pun diketahui bertipe eksplosif, termasuk letusan pada Kamis 13 Februari 2014 malam.
Dalam sebuah wawancara mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi, Sumber Daya Alam, dan Mineral (ESDM) Surono mengatakan keberadaan danau di kawah ini sama bahayanya dengan lontaran material padat dari letusan gunung.
Surono yang pada Jumat 14 Februari 2014 diangkat menjadi Kepala Badan Geologi, mengatakan lontaran air dari danau kawah, bila masih ada, bisa mencapai sekitar 37,5 kilometer. Sudah air panas, bercampur magma, masih dipadukan dengan seratusan juta ton material padat yang terlontar.
Kira-kira, karena tak ada catatan sejarahnya, itulah yang terjadi pada letusan 1586. Namun, bukan pula letusan itu saja yang menyebabkan korban jiwa mencapai lebih dari 10.000 jiwa. Dampak sesudah letusan, tak kurang buruknya.
Diduga, kematian puluhan ribu orang itu juga disebabkan kelaparan. Dengan muntahnya air danau kawah, lontaran material padat, dan abu vulkanik yang mematikan tanaman, dapat diduga tak ada pasokan makanan yang bisa disediakan dalam jumlah besar untuk jumlah warga pada saat itu.
Membaca Simbol Tradisi Lisan untuk Mitigasi Bencana
Inilah yang kemudian diduga sebagai penyebab benar-benar paripurnanya sejarah kerajaan Majapahit, menutup beragam konflik politik internal zaman itu, maupun legenda kutukan Lembu Suro.
Sebagai gambaran, letusan pada 1919 yang notabene relatif lebih modern dibandingkan kondisi pada 1586, juga menewaskan ribuan orang. Angka yang tercatat adalah 5.160 orang. Letusan pada 1919 inilah yang mengawali dilanjutkannya upaya pembangunan terowongan di kaki gunung berketinggian 1.731 meter tersebut.
Terowongan-terowongan tersebut berfungsi mengurangi volume air di kawah danau. Catatan tertua tentang upaya mengurangi dampak dari lahar cair, gabungan magma dan air danau yang mendidih, adalah "kelahiran" Sungai Harinjing yang sekarang dikenal sebagai Sungai Sarinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.
Sungai ini merupakan sudetan dari Sungai Konto. Kehadiran Sungai Serinjing tercatat dalam prasasti Harinjing di Desa Siman. Dalam prasasti yang dikenal pula sebagai Prasasti Sukabumi itu, tertera angka tahun 921 M. Di situ diceritakan soal pembangunan bendungan dan sungai yang dimulai pertama kali pada 804 M.
Terowongan pengalir air dari danau kawah buatan 1926, setelah letusan pada 1919, masih berfungsi sampai sekarang. Namun, setelah letusan 1966, Pemerintah Indonesia membangun terowongan baru yang lokasinya 45 meter di bawah terowongan lama.
Terowongan baru yang rampung dibangun pada 1967 ini diberi nama Terowongan Ampera. Fungsinya menjaga volume air danau kawah tak lebih dari 2,5 juta meter kubik. Volume air di kawah Gunung Kelud susut dan hanya menyisakan genangan pada letusan efusif 2007. Pada letusan Kamis 13 Februari 2014 malam, air danau bisa jadi bukan lagi ancaman.
Namun, terbukti pada malam itu bawa Gunung Kelud masih memiliki ciri letusan eksplosif. Lontaran material padat vulkanik pada letusan terbesar pada pukul 23.30 WIB mencapai ketinggian 17 kilometer, ketika letusan pertama melontarkan material hingga setinggi 3 kilometer.
Jangkauan abu vulkanik letusan Gunung Kelud pada malam itu pun menyebar luas mengikuti arah angin, menyebar luas di Jawa Tengah dan menjangkau Jawa Barat. Bisa jadi gabungan antara pembangunan saluran-saluran air yang telah menghadirkan 11 sungai berhulu di gunung itu, letusan efusif yang menyurutkan air danau kawah, dan persiapan yang lebih baik menjadi faktor yang meminimalkan jumlah korban.
Namun, barangkali pekerjaan rumah tetap belum habis. Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Kelud memiliki pola letusan berjeda pendek, antara 9 sampai 25 tahun. Walaupun korban jiwa yang jatuh dalam dua hari ini bukan karena dampak langsung letusan, tetapi fakta sangat pendeknya tenggat waktu antara peningkatan status Awas sampai terjadi letusan pada Kamis malam, tetap merupakan sebuah catatan baru.
Jarak waktu peningkatan status hingga terjadinya letusan, tak sampai dua jam. Kalaupun kutukan Lembu Sura tak lagi relevan sebagai mitos, barangkali perlu dibaca ada simbol-simbol budaya dalam tradisi lisan sebagai "kode" mitigasi bencana.
Percaya atau tidak, hari ini selain 11 sungai ada di Kediri, di Tulungagung pun ada Bendungan Wonorejo, dan Blitar menjadi sebidang tanah datar di kawasan yang dikelilingi danau dan sungai itu. Agak terdengar familiar? Betul, kalimat dalam legenda Lembu Suro.